ASPEK.ID, JAKARTA – Penyakit Tuberkulosis (TBC) masih menjadi beban masalah kesehatan di Indonesia hingga saat ini. Di saat yang bersamaan Indonesia juga menghadapi wabah corona virus (Covid-19) dan harus lebih diwaspadai oleh pasien TBC.
Kedua penyakit ini adalah pandemi pernapasan yang menular melalui droplet (percikan), menyerang rentang usia yang luas seperti di antaranya orang lanjut usia dan orang yang memiliki kondisi kesehatan khusus seperti mereka yang memiliki gangguan kronis pada paru, bahkan pada anak-anak.
Beberapa gejala TBC seperti batuk, demam, dan merasa lemas juga dialami pasien COVID-19
”Covid-19 menyadarkan kita betapa rentannya jika pasien TBC tidak berobat, karena daya tahan tubuh dan kondisi paru mereka juga lebih rentan terinfeksi,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung dr. Wiendra Waworuntu saat telekonfersi, Selasa (24/3).
Untuk pasien TBC yang dalam masa pengobatan, ia menekankan harus minum obat teratur dan tetap menjaga daya tahan tubuh. Oleh sebab itu, peran komunitas sangatlah penting dalam skema pengobatan TBC, terutama bagi pasien TBC resistan obat (TBC RO).
”Kami sedang menyiapkan skema tersebut agar pasien TBC RO tidak harus ke RS setiap hari untuk berobat,” ujarnya.
Menurut dr. Wiendra, rumah sakit harus menerapkan strategi Temukan-Pisahkan-Obati (Tempo) untuk tatalaksana TBC dan dapat menjadi pembelajaran untuk Covid-19. Dalam pengendalian TBC, ketika pasien batuk datang ke RS, harus dilakukan triase saat penerimaan awal berdasarkan gejala utama TBC.
Kalau sudah batuk lebih dari 2 minggu, pasien diberi masker dan edukasi tentang etika batuk, lalu menunggu di ruang terpisah dengan ventilasi yang baik sebelum dilayani. Di samping pelayanan, riset implementasi juga memiliki peranan penting dalam penanggulangan penyakit.
Komite Ahli Tuberkulosis dr. Pandu Riono, MPH, PhD mengatakan modalitas penularan TBC dan Covid-19 ini berdekatan atau mirip. Berbagai sumber daya yang sudah ada di manajemen pelayanan TBC bisa dimanfaatkan untuk penanganan COVID-19.
Juga sebaliknya, untuk jangka panjang ke depannya, investasi pada berbagai sumber daya penanganan COVID-19 saat ini, sangat memungkinkan bisa digunakan untuk mendukung pelayanan TBC.
”Pengobatan pasien TBC harus tetap berjalan dengan teratur sampai sembuh meski dengan munculnya Covid-19. Saya tentunya khawatir akan situasi Covid-19, tetapi, peran warga untuk menjaga kesehatan masyarakat justru semakin diperlukan sekarang. Terutama untuk pasien TBC resistan obat,” ujar dr. Pandu.
Di samping itu dr. Wiendra menghimbau pemangku kepentingan bisa lebih sinergis dalam melakukan promosi dan pencegahan penyakit. Pesan etika batuk dan Germas yang ada bisa dimanfaatkan oleh mitra-mitra implementasi di lapangan.
”Saat melakukan investigasi kontak pasien TBC, jangan lupa menggunakan alat pelindung diri seperti masker dan mencuci tangan secara rutin,” imbuhnya.
Setiap tahun 100 juta penduduk dunia jatuh sakit akibat Mycobacterium Tuberculosis dan 845.000 diantaranya berada di Indonesia, negara dengan beban TBC tertinggi ketiga setelah India dan Tiongkok.
”Menyadari besarnya permasalahan TBC di Indonesia, saya sampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada setiap orang yang berkontribusi agar pelayanan TBC tetap berjalan dalam kondisi saat ini. Saya juga mengapresiasi kerja keras tenaga kesehatan yang melawan Covid-19, karena upaya mereka menjaga kita semua, termasuk para pasien TBC. Sebagian tenaga kesehatan yang berjuang pun juga terlibat dalam eliminasi TBC,” kata dia.