ASPEK.ID, JAKARTA – Singapura dilaporkan mengimpor hampir semua bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan negara berpenduduk 5,64 juta jiwa itu.
Tapi hingga 2030 mendatang, Singapura ingin memenuhi sendiri 30% kebutuhan pangannya. Pemerintah mendorong penduduk untuk menanam sendiri buah dan sayuran di atap dan balkon.
Namun, yang menjadi pertanyaan, mungkinkah cita-cita itu terwujud? Susah membayangkan jika Singapura menjadi negara pertanian.
Selama beberapa dekade, Singapura memang telah menjadi pusat keuangan dan ekonomi, dan memiliki semakin banyak pencakar langit.
Walaupun banyak penghijauan, pertanian tampak seperti sesuatu dari masa lalu. Tapi sekarang Singapura ingin mengurangi ketergantungan pasokan pangannya pada negara asing.
Lahan di Singapura tidak luas. Jadi atap akan diubah menjadi lahan penanaman sayuran dan hasil kebun yang bisa dijual! Strategi baru itu sudah mulai membuahkan hasil.
Atap sebuah mal perbelanjaan yang populer juga jadi lahan pertanian. Ketika Bjorn Low berhenti berkarir di bidang periklanan tahun 2015, dan mulai menanam pepaya, rosemari dan markisa, ia ditertawakan orang.
Sekarang ia menjadi pakar yang selalu dimintai pendapatnya. Pengusaha itu kini menciptakan 200 kebun di atap bangunan di seluruh kota. Ia juga bereksperimen dengan teknologi baru, yang ditempatkan di kontainer kapal laut.
Kale, yang dijuluki Ratu Sayur, tidak tumbuh di iklim tropis. Tapi di Singapura, kale tumbuh jika ditempatkan di cairan nutrisi, dan di bawah cahaya LED, yang menggantikan cahaya matahari.
Budidaya tanaman vertikal dalam beberapa tingkat, dianggap tren yang menjanjikan, yang bisa bersaing melawan produk dari negara lain seperti negara tetangga Malaysia, yang menanam pangan dengan lebih murah.
Low mengatakan, keberhasilan itu bisa dicapai karena sayuran yang ia tanam diperkaya lebih banyak nutrisi.
“Jadi ini juga menawarkan keuntungan bagi kesehatan konsumen. Ini jadi alasan mengapa harganya lebih mahal 20 sen Dolar Singapura daripada sayuran lain. Jadi itu bisa jadi hal menguntungkan dalam persaingan ini,” kata Low dilansir DW.
Hanya 1% areal lahan Singapura bisa diperhitungkan untuk pertanian tradisional dengan penanaman di tanah. Oleh sebab itu, pertanian vertikal di lahan bertingkat bermunculan di mana-mana, dan itu didukung pemerintah.
Ikan juga akan dikembangbiakkan di sebuah gedung delapan tingkat. Perusahaan Apollo Marine yang mengembangkan konsepnya.
Sejauh ini, perusahaan mengembangbiakkan 300 ton ikan per tahun di lahan budidaya ikan di seberang jalan. Sekarang, negara juga ikut menanamkan modal di perusahaan ini.
Di masa depan, hampir 10 kali lipat ikan jenis trout tropis akan dibesarkan di kolam-kolam milik perusahaan itu. Apollo Marine mengatakan, budidaya ikan akan dilakukan secara ekologis berkelanjutan. 90% air bisa digunakan.
Lagi pula, selama lockdown, ketika ikan segar tidak bisa diimpor, Apollo bisa memikat sejumlah besar warga Singapura sebagai konsumen baru.
“Sebenarnya, jika kita mengembangbiakkan ikan seperti biasa, di sepanjang pantai, ikan sangat terancam polusi, hujan, plastik mikro, tumpahan minyak serta kontaminasi lain. Jika dikembangbiakkan di dalam sistem seperti yang kita miliki sekarang, maka kontaminasi dan polusi bisa dihindari,” kata Manajer Operasi Apollo Marine, Crono Lee.