ASPEK.ID, JAKARTA – Perubahan nama organisasi Front Pembela Islam (FPI) tanpa menghendaki pendaftaran atas perubahan nama tersebut bertentangan dengan undang-undang dan tidak sah.
Hal itu dikatakan oleh Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia (UI) Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, SH, MH, dalam keterangannya kepada wartawan, Sabtu (2/1).
Menurut dia, perubahan nama dan bentuk baru organisasi terlarang yang tetap berbasis negara khilafah islamiyah adalah bentuk pembangkangan terhadap kekuasan negara dan konstitusi yang sah dan karenanya melanggar hukum yang harus ditindak secara tegas.
“Perubahan nama dan bentuk organisasi baru tanpa melalui prosedur hukum yang berlaku, menjadi dasar bagi pemerintah untuk lakukan keputusan untuk pembubaran dan pelarangan kegiatan dan aktifitas organisasi masyarakat yang baru tersebut,” kata dia dilansir laman Antara di Jakarta, Minggu (3/1).
Pelarangan kegiatan FPI dikatakannya tidak perlu menjadi polemik, sebab keputusan pemerintah melalui surat keputusan bersama (SKB) memiliki legalitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Sehingga, hal ini patut diapresiasi dan didukung oleh semua komponen bangsa.
“Dari penelitian oleh Kementerian Dalam Negeri ini, AD/ART FPI ini bertentangan dengan UU Ormas sebagaimana telah ditegaskan pada Pasal 1 UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas, dan Kementerian Dalam Negeri sampai sekarang tidak menerbitkan surat keterangan terdaftar bagi FPI,” jelas dia.
Lebih lanjut, pengajar ilmu hukum UI ini berpandangan bahwa dari sisi hukum, identitas FPI layak dianggap sebagai organisasi tanpa bentuk yang bersifat ilegal, terlebih bila aktifitas dan kegiatannya ditemukan substansi penerapan Islam secara kafah di bawah naungan khilafah islamiyah dan memunculkan nama dan kata ‘NKRI Bersyariah’.
Pelarangan kegiatan dan aktifitas FPI, harus diartikan terhadap segala bentuk organ dan perubahan baik langsung atau tidak langsung, dengan segala atribut maupun lambang organ dan perubahannya.
“Oleh karenanya pelanggaran terhadap larangan ini sebagai bentuk pelanggaran hukum yang baru, apalagi dengan visi misi yang tetap tidak mengakui Pancasila, UUD 1945 dan NKRI,” tandasnya.
Sementara itu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut bahwa pemerintah tidak melarang pendirian Front Persatuan Islam asalkan tidak melanggar hukum.
Deklarasi Front Persatuan Islam dilakukan usai keputusan pemerintah yang menyatakan bahwa Front Pembela Islam, merupakan organisasi terlarang.
Deklarator Front Persatuan Islam ntara lain adalah Habib Abu Fihir Alattas, Abdurrahman Anwar, Ahmad Sabri Lubis, Munarman, Abdul Qadir Aka, Awit Mashuri, Haris Ubaidillah.
Kemudian, Habib Idrus Al Habsyi, Idrus Hasan, Habib Ali Alattas, Tuankota Basalamah, Habib Syafiq Alaydrus, Baharuzaman, Amir Ortega, Syahroji, Waluyo, Joko, dan M Luthfi
“Mendirikan apa saja boleh, asal tidak melanggar hukum. Front Penegak Islam boleh, Front Perempuan Islam boleh, Forum Penjaga Ilmu juga boleh. Pemerintah tidak akan melakukan langkah khusus,” kata Mahfud ,dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat (1/1).
Pendirian Front Persatuan Islam dikatakan mantan Ketua Mahmakah Konstitusi ini, tidak ada bedanya dengan organisasi massa pada pemerintahan masa lalu.
“Dulu Masyumi bubar kemudian melahirkan Parmusi, PPP, DDII, Masyumi Baru, Masyumi Reborn, dan sebagainya, juga tidak apa-apa. PSI yang dibubarkan bersama Masyumi juga melahirkan ormas-ormas dan tokoh-tokohnya sampai sekarang,” jelasnya.
Kemudian, juga disebutkan PNI yang melahirkan PDI dan melahirkan PDI Perjuangan, Barisan Banteng Muda, dan sebagainya.
“Nahdlatul Ulama (NU) pernah pecah dan pernah melahirkan KPP-NU juga tidak ditindak sampai bubar sendiri,” ucapnya.