Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan Arianti Anaya menyebutkan saat ini Indonesia masih kekurangan sekitar 30 ribu dokter spesialis, sedangkan persebaran kalangan mereka yang ada saat ini belum merata.
“Kita membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun untuk memenuhi jumlah dokter spesialis tersebut dengan asumsi jumlah penyelenggara program studi dokter spesialis sebanyak 21 dari 92 fakultas kedokteran dengan menghasilkan lulusan spesialis sekitar 2.700 tiap tahun,” kata dia dalam keterangan tertulis Humas UGM di Yogyakarta, Senin (10/4/2023).
Dalam Webinar Urgensi Pendidikan Terintegrasi untuk Pemerataan Pelayanan Kesehatan yang diselenggarakan PKMK-FKKMK UGM pada Sabtu (8/4/2023), ia mengatakan selain jumlahnya masih kurang, saat ini persebaran dokter spesialis belum merata. Sebanyak 59 persen masih berada di Pulau Jawa, sedangkan di wilayah Indonesia bagian timur jumlahnya masih terbatas.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Prof Herkutanto menilai sulitnya seleksi serta proses program pendidikan dokter spesialis juga menjadi hambatan bagi penambahan dokter spesialis di Indonesia.
Menurut dia, negara perlu memberikan perhatian khusus terkait pentingnya dokter spesialis saat ini bagi masyarakat.
“Sama halnya dengan produksi tenaga militer, perlu ada penanganan berbeda dibandingkan pendidikan lain karena ini terkait langsung dengan keselamatan masyarakat dan bangsa,” ujar dia.
Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) Setyo Widi Nugroho menuturkan untuk bisa mendorong produksi tenaga medis bukan perkara mudah karena terdapat proses panjang untuk menghasilkan tenaga medis yang berkualitas.
Menurut dia, peningkatan produksi dokter spesialis jangan sampai mengesampingkan aspek kredibilitas. “Kami terinspirasi dari ‘Health Education of England (HEE)’ bahwa untuk melakukan suatu produksi, kita harus meyakinkan bahwa jumlah tenaga kerja harus tepat jumlahnya, tepat keterampilannya, dan memberikan pelayanan yang baik, serta mampu beradaptasi dengan teknologi,” katanya.
Representasi Pokjanas Academic Health System (AHS) Ratna Sitompul mengatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law perlu dipertimbangkan kembali dampaknya terkait penyelesaian persoalan tersebut.
Oleh karena itu, dalam policy brief yang dirancang, terdapat AHS yang berperan penting mendorong produksi tenaga kesehatan. “Kami berharap fakultas kedokteran yang terjalin dalam AHS dapat membantu fakultas kedokteran lain yang belum memiliki spesialisasi tertentu karena berbagai keterbatasan. Dengan begitu, kami harap produksi tenaga kerja, khususnya dokter spesialis ini dapat meningkat,” kata dia.