Motif Batik Maritim Surabaya yang baru siap menjadi suvenir ikonik, memanfaatkan daya tarik storynomic yang kuat yang menonjolkan warisan maritim kota ini. Inisiatif kreatif ini, yang diperkenalkan pada Diskusi Kelompok Terarah (FGD) pada 8 November yang diselenggarakan oleh Pelindo Marine Service (Pelindo Group), merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk memberdayakan perajin batik lokal di bekas distrik lampu merah, Gang Dolly, sehingga mereka dapat membangun usaha kecil yang berkelanjutan melalui produk yang digerakkan oleh cerita atau kisah.
FGD tersebut mempertemukan pejabat kota, desainer busana dan grafis, wartawan, dan perwakilan Pelindo, serta membentuk wadah untuk membahas potensi motif batik di bidang pariwisata. Farah Andita Ramdhani, Kepala Bidang Pariwisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya, menjelaskan bahwa motif batik dapat meningkatkan citra kota Surabaya.
“Ini akan menjadi produk ekonomi kreatif yang sangat menarik karena menjual narasi Surabaya sebagai kota maritim melalui batik. Dalam konteks pariwisata, ini merupakan bentuk ‘storynomic’—atau menjual kota melalui narasi. Ini menunjukkan bahwa Surabaya bukan hanya tentang mal. Semoga ini dapat mendatangkan lebih banyak orang ke Surabaya,” jelasnya.
Kurangnya tradisi batik bersejarah di Surabaya memberi kebebasan bagi para perajin untuk mengeksplorasi tema-tema kontemporer, seperti hutan bakau Wonorejo, rel kereta api di stasiun kereta Pasar Turi, dan penjual salad semanggi (semanggi/Marsilea crenata). Perajin Pengky, yang dianggap sebagai seniman awal di balik motif Batik Maritim Surabaya, mempelajari pengaruh maritim Kerajaan Majapahit dan memasukkan unsur-unsur maritim modern. “Yang unik dari motif Batik Maritim Surabaya sekarang adalah, karena ada Pelabuhan Tanjung Perak modern di Surabaya, gambar kapal yang muncul bukan yang tradisional. Sebaliknya, itu adalah kapal tunda klasik dengan deretan ban khas yang melingkari lambung kapal. Kemudian, dihiasi dengan daun semanggi, yang juga digunakan dalam hidangan salad tradisional Surabaya, dan bentuk daunnya menyerupai baling-baling kapal tunda,” katanya.
Corporate Secretary Pelindo Ardhy Wahyu Basuki menegaskan pentingnya profitabilitas. Ia mengimbau para perajin untuk mempertimbangkan tren pasar di samping storytelling yang kreatif. “Namun, para perajin batik sebagai pelaku UKM juga harus ingat, ‘pada akhirnya, ini soal uang’. Dengan kata lain, mereka harus memastikan usaha batik mereka tetap menguntungkan. Pertama, produk harus mampu memenuhi permintaan pasar. Untuk itu, Pelindo memiliki program Maritimepreneur dan Gedor Ekspor, program untuk mendorong ekspor bagi UKM Indonesia agar naik kelas dan menembus pasar global. Kedua, produk juga harus memiliki karakter tersendiri, seperti motif Batik Maritim Surabaya yang meromantisasi eksotisme sisi maritim kota ini sekaligus mengedukasi masyarakat tentang budaya maritim. Potensi maritim Indonesia sangat besar,” pesannya.
Fabio Ricardo Toreh, desainer sekaligus dosen Universitas Ciputra, menyoroti perlunya riset pasar untuk menjaga daya saing industri batik. “Saya sangat senang Pelindo Marine memfasilitasi FGD ini. Sebagai desainer busana, kita bisa langsung menyelaraskan visi dengan para perajin, juga dengan pemerintah dan korporasi sebagai pemangku kepentingan pendukung,” katanya, seraya berharap dialog ini bisa terus berlanjut sebagai jaringan pendukung bagi para perajin yang mengembangkan produk batik modern yang kaya cerita.