ASPEK.ID, JAKARTA – Platform layanan on-demand dan pembayaran serta finansial terkemuka, Gojek dan perusahaan teknologi marketplace, Tokopedia, secara resmi mengumumkan pembentukan Grup GoTo pada Senin (17/5) lalu.
Dilansir dari keterangan resmi Tokopedia, pembentukan GoTo ini terdapat andil sederet nama perusahaan besar yang menyokong dana pembentukan. Bahkan, investor yang menyuntikan modal ini masuk dalam kategori blue-chip.
Mereka adalah Alibaba Group, Astra International, BlackRock, Capital Group, DST, Facebook, Google, JD.com, KKR, Northstar, Pacific Century Group, PayPal, Provident, Sequoia Capital, SoftBank Vision Fund 1, Telkomsel, Temasek, Tencent, Visa dan Warburg Pincus.
Grup GoTo diklaim memiliki total Gross Transaction Value (GTV) secara grup lebih dari US $22 miliar pada tahun 2020, lebih dari 1,8 miliar transaksi pada tahun 2020 dan lebih dari dua juta mitra driver yang terdaftar per Desember 2020.
SoftBank asal Jepang dan Alibaba dari China menjadi dua perusahaan yang menguasai kepemilikan saham terbesar Grup GoTo.
Melansir CNN via Nikkei Asia, Softbank akan menggenggam 15,3 persen saham GoTo, sementara Alibaba seebsar 12,6 persen.
Mimpi Buruk Startup
Managing Partner Inventure Yuswohady menyatakan, aksi merger GoTo membuka peluang dominasi kuasa pasar digital oleh para pelaku besar, seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan China.
Di Amerika Serikat, pasar digital dikuasai oleh Google, Amazon, Facebook, dan Apple atau dikenal sebagai “The Big Four”. Sementara, di China dikuasai oleh “The Big Five”, yaitu Alibaba, Tencent, Baidu, ByteDance, dan JD.
Apa masalahnya jika pasar dikuasai oleh segelintir “Tech Giants”? Banyak! Salah satu yang sangat meresahkan adalah startup yang bekal terkebiri. Kenapa bisa begitu?
Di kalangan VC fenomenanya disebut “Kill Zone”. Dimana tech giants selalu memiliki perangai buruk melakukan Predatory Tactics. Tujuannya dua: menggurita dan menggelembungkan market cap.
“Prinsipnya, predatory tactic terhadap startup-startup yang mau tumbuh ini dilakukan dengan dua cara, yakni Eat dan Kill,” kata Yuswohady dilansir di laman yuswohady.com, Rabu (26/5).
Tech giants ini dikatakannya seperti “shopping around all the time”, mencari mangsa startup-startup baru yg prospektif dgn memberi mrk dua opsi. Pertama, dicaplok dan diintegrasikan ke platform mereka.
Facebook adalah “Startup Eater” yang rakus. Ia mencaplok IG or WA saat masih bayi, tujuannya untuk mematikan persaingan. Google sama saja, mencaplok Picasa, tapi lebih keji karena mematikannya dan diganti nama menjadi Google Photo.
Kedua, kalau tak mau dicaplok, mereka membuat “clone product” untuk mematikan startup tersebut. memang mereka selalu memiliki Copycat Mentality.
Di samping startup eater, Facebook adalah “Startup Killer” yang keji. Snapchat awalnya menikmati sukses luar biasa. Dibeli Facebook tapi tak mau. Apa yg dilakukan Facebook? Mengcopy fitur unik Snapchat dan mencangkokkanya ke IG dan WA. Hasilnya: pengguna Snapchat pelan tapi pasti rontok.
“Gampang ditebak, predatory tactic “EAT & KILL” inilah yang bakal dijalankan GoTo untuk menggurita dan mengerek market cap,” ungkapnya.
Praktek ini akan menjadi mimpi buruk bagi tumbuh dan berkembangnya startup di Indonesia. Ia akan mengebiri perkembangan startup.
Ia akan menciptakan kill zone yaitu zona or area bisnis yg tak mungkin dimasuki startup baru karena pasti terkena praktek predatori mereka.
“Startup vs statup is fair game. Startup vs tech giant, game over. Semakin menggurita tech giant, maka Kill Zone kian meluas sehingga tak ada ruang bagi startup untuk hidup dan berkembang,” tandasnya.