ASPEK.ID, JAKARTA – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini mengatakan bahwa utang pemerintah terus bertambah di masa pandemi Covid-19.
Hingga April 2021, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang Indonesia ada di angka Rp6.527,29 triliun.
Angka ini diperkirakan terus bertambah hingga akhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Didik mengatakan bahwa utang BUMN perbankan dan nonperbankan yang pasti akan ditanggung negara jika gagal bayar mencapai Rp2.143 triliun.
“Total utang publik sekarang mencapai Rp8.504 triliun. Saya memperkirakan di akhir periode, pemerintahan ini akan mewariskan lebih dari Rp10.000 triliun kepada presiden berikutnya,” ucapnya, Kamis (3/6/2021).
Didik menjelaskan bahwa pada 2019 utang yang diputuskan di anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) mencapai Rp921,5 triliun.
Keperluan tersebut untuk membayar bunga, pokok, dan sisanya menambal kebutuhan defisit. Tahun lalu, rencana utang ingin ditekan menjadi Rp651,1 triliun agar wajah APBN kelihatan apik.
Tapi krisis dan pandemi mengharuskan utang tahun 2020 dinaikkan hampir 2 kali lipat menjadi Rp1226 triliun.
Perubahan-perubahan tersebut, ungkap Didik, mencerminkan perilaku labil dan seenak sendiri dari penguasa. Akibatnya, setiap tahun kewajiban pembayaran utang pokok dan bunga plus cicilan utang luar negeri pemerintah yang tidak termasuk swasta pada 2020 mencapai Rp772 triliun.
Sementara itu, pembayaran utang dari kantong APBN ke depan bisa bergerak cepat menuju Rp1.000 triliun dalam waktu tidak terlalu lama.
“Saya hanya mengingatkan, gabungan dari masalah APBN ini ditambah kepercayaan publik merosot maka krisis bisa terjadi. Karena itu, kemuingkinan krisis harus dicegah dengan menguatkan kembali APBN agar hati-hati dalam perencanaannya dan mengembalikan lagi pertumbuhan di atas tingkat moderat,” jelasnya.