Jakarta – Ekonom menilai kondisi kelas menengah Indonesia benar-benar dalam keadaan serba sulit. Tabungan mereka mulai terkikis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, di sisi lain mereka juga terjerat pinjaman.
Data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dirilis Bank Indonesia pada bulan Mei menunjukkan porsi cicilan pinjaman terhadap pendapatan terindikasi meningkat pada hampir semua tingkat pengeluaran responden.
Untuk kelompok pengeluaran Rp 1-2 juta per bulan, porsi cicilan dari pendapatan mereka meningkat dari 7,1% ke 7,3%. Begitupun untuk kelompok pengeluaran Rp 2,1-3 juta terhitung naik dari 9,2% ke 10,2%.
Warga kelas menengah yang masuk kelompok pengeluaran Rp 3,1 juta-Rp 4 juta porsi cicilannya melonjak dari 10,3% ke 11,2% dari pendapatan. Lonjakan pembayaran cicilan juga tercatat terjadi pada kelompok pengeluaran Rp 4,1-Rp 5 juta yang naik dari 12,3% ke 12,9%. Hanya golongan paling atas dengan pengeluaran di atas Rp 5 juta per bulan yang porsi cicilannya menciut dari 14,9% ke 13,9%.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty mengatakan kelas menengah tengah terjepit oleh berbagai iuran dan pengeluaran kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Menurut dia, hal tersebut mengakibatkan jumlah pinjaman ikut meningkat.
“Terjadi tren penurunan dari sisi tabungan maupun kenaikan pinjaman,” kata Telisa dikutip Selasa, (30/7/2024).
“Jadi kondisi rumah tangga memang tertekan,” katanya dikutip dari cnbcindonesia.
Telisa menduga kenaikan pinjaman ini terjadi karena pendapatan masyarakat yang habis untuk konsumsi sehari-hari. Hal tersebut membuat kelas menengah mulai menggunakan tabungannya dan melakukan pinjaman untuk memenuhi kebutuhannya. “Kemungkinan untuk konsumsi,” kata dia.
Data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukan tidak semua masyarakat yang mengambil cicilan mampu membayarnya. Pada sektor cicilan kendaraan bermotor, OJK mencatat rasio pembiayaan bermasalah atau non-performing financing (NPF) industri multifinance merangkak naik pada tahun ini. Hal ini diikuti pula dengan melambatnya pertumbuhan pembiayaan.
Berdasarkan data OJK per April 2024, rasio NPF gross meningkat 35 basis poin secara tahunan ke angka 2,82%. Apabila dibandingkan dengan posisi Desember 2023, rasio NPF malah naik 38 bps. Begitu pula dengan NPF net per April 2024 yang naik 20 bps menjadi 0,89% secara year-on-year. Dibandingkan bulan Desember 2023, angkanya naik sebesar 25 bps.
Lembaga pembiayaan atau leasing mengakui belakangan ini sedang melakukan pengetatan untuk pengajuan kredit. Alasannya, mereka menganggap daya beli masyarakat saat ini semakin rendah.
“Kenyataannya itu benar, karena apa? Seleksi alam. Ini bagian dari edukasi untuk masyarakat, mereka punya keinginan membeli kendaraan tapi mampu tidak?” kata Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno.
Pengetatan yang dilakukan oleh pihak leasing tak ayal turut menekan kinerja penjualan mobil dan motor. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyebut sepanjang Januari-April penjualan mobil baru merosot 14,8% yoy menjadi 289.551 unit. Pada periode yang sama, Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia mencatat penjualan motor baru turun 1,11% yoy menjadi 2.154.226 unit.
Pelemahan daya beli masyarakat menjadi satu pertanda penduduk RI sedang bergeser dari kelas menengah ke kelas ekonomi yang lebih rendah. Mengacu pada standar Bank Dunia, jumlah kelas menengah di Indonesia terus merosot sejak 2019.
Proporsi kelas menengah di Indonesia menciut dari 21,4% sebelum pandemi menjadi 17,4% dari populasi setelah pandemi Covid-19. Kebanyakan dari mereka jatuh ke kelas ekonomi yang lebih rendah, yaitu aspiring middle class (AMC) dan kelas rentan.
Menurunnya proporsi kelas menengah ini ditengarai disebabkan karena merosotnya pendapatan hingga PHK yang terjadi selama pandemi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah pengangguran di Indonesia sempat melonjak 2,67 juta menjadi 9,77 juta (7,07%) per Agustus 2020 dari 7,1 juta orang (5,35) per Agustus 2019 atau sebelum pandemi.
PHK ini membuat masyarakat beralih dari pekerja formal ke informal. Data BPS menunjukkan proporsi pekerja informal Indonesia saat ini tercatat 59,17%, melesat dibandingkan per Agustus 2019 yakni 55,88%.