ASPEK.ID, JAKARTA – Kementerian ESDM dan Kementerian PUPR untuk pemanfaatan limbah non Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang lebih optimal ke depan.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan hasil pengujian menunjukkan kandungan radionuklida pada FABA masih memenuhi konsentrasi yang dipersyaratkan pada PP Nomor 22 Tahun 2021.
Batubara secara alami mengandung sejumlah radionuklida seperti Ra-226, Th-232, K-40, U-235, U-238 dan Pb-210.
Pada 2019 sebanyak 9,7 juta ton FABA dihasilkan dari 97 juta ton batubara yang digunakan PLTU. Proyeksinya, di 2028 produksi FABA bisa meningkat hingga 15,3 juta ton dari kebutuhan batubara yang mencapai 153 juta ton untuk PLTU.
Rida mengungkapkan, FABA dari PLTU yang selama ini ditumpuk bisa cepat diserap oleh Kementerian PUPR untuk tujuan konstruksi.
Dengan begitu, harapannya kerjasama antar kedua kementerian tersebut bisa mengikis timbunan FABA dan dimanfaatkan untuk keperluan pembangunan infrastruktur, seperti membangun jalan.
“Jadi ini yang menjadi pekerjaan jangka pendek untuk segera diselesaikan, dan sudah kami bicarakan dengan PUPR,” kata Rida, Senin (15/3/2021).
Rida menekankan kalau di AS, Australia, Kanada, Eropa, Jepang, Rusia, Afrika Selatan dan tiga negara tujuan ekspor batubara seperti China, India dan Korea Selatan tidak menyebutkan FABA sebagai B3, melainkan sebagai limbah padat dan sebagai specified by product.
FABA juga dimanfaatkan sebagai material semen, bahan dasar jalan, reklamasi bekas tambang terbuka, konstruksi bahan batako, bendungan hingga kebutuhan pertanian.
Penggunaan beton dengan campuran fly ash dinilai mampu menurunkan biaya untuk membuat beton konvensional. Pemanfaatan FABA juga berpotensi memberikan efisiensi anggaran pembangunan infrastruktur sebesar Rp 4,3 triliun.
Rida menambahkan terdapat 52 lokasi yang menghasilkan FABA, dimana satu lokasi memungkinkan memiliki beberapa unit PLTU.