Wamenkominfo Nezar Patria mengungkapkan Indonesia punya tiga usulan atau gagasan dalam rangka merespons perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Menurut Nezar, usulan ini sudah disampaikan dalam AI Safety Summit, yang diikuti 28 negara, bersama dengan sejumlah perusahaan teknologi di London, Inggris beberapa waktu lalu.
“Kami menawarkan tiga hal yang kami sebut 3P di dalam forum itu,” kata Nezar Patria dalam acara Catatan Wens Manggut bertajuk ‘Regulasi dan Etika dari Kecerdasan Buatan (AI)’ yang digelar secara live streaming di Vidio, Selasa (21/11/2023).
Dia mengungkapkan, “P” pertama adalah Policy atau kebijakan, yang dimaksudkan untuk mengatur ekosistem, mulai dari desain, pengembangan, hingga pemakaian.
Kedua adalah Platform kecerdasan buatan, di mana menurut Nezar, platform harus menjamin inklusivitas, transparansi, hingga non-diskriminasi.
“P” terakhir adalah terkait People atau sumber daya manusia dan hubungannya dengan alat-alat AI, serta empowerment manusianya itu sendiri.
“Karena ada digital divide, di dunia masih terjadi. Kesenjangan akses, kesenjangan pengetahuan soal digital, dan lain-lain, akan memengaruhi interaksi dengan artificial intelligence, dalam soal data,” ujarnya disadur dari liputan6.
Nezar menjelaskan, ‘makanan’ dari kecerdasan buatan adalah data. Terkait ini, kesadaran terhadap data memang belum setinggi negara lain seperti Amerika Serikat atau Eropa, tapi Indonesia sudah memiliki UU Pelindungan Data Pribadi (PDP).
Wamenkominfo mengungkapkan Peraturan Pemerintah turunan UU PDP telah disiapkan, dan segera akan selesai tidak lama lagi, di mana nantinya akan diturunkan lagi ke Peraturan Menteri dan seterusnya.
“Ini saya kira satu kemajuan yang cukup bagus, walaupun tidak khusus mengatur soal AI, tetapi ada baseline. Bagaimana perlindungan data di sektor emerging technology, jadi AI mungkin bisa masuk di situ,” Wamenkominfo Nezar Patria memaparkan.
Nezar juga mengungkapkan berdasarkan pertemuan terkait AI yang di London, Inggris, ada nilai-nilai dasar yang sudah disepakati terkait kecerdasan buatan.
“Jadi ada global concern terhadap risiko-risikonya, lalu kemudian untuk mengantisipasi risiko itu kita sepakat dengan sejumlah nilai-nilai, misalnya transparansi, non-diskriminasi, kita sepakati dulu,” ucapnya.
Menurut Nezar, memang sejauh ini belum ada aturan secara global soal AI. Namun, dengan adanya kesepakatan bersama bernama Bletchley Declaration yang disepakati di Inggris itu, bisa jadi sebuah langkah maju.
“Ini memang non-legally binding, jadi tidak mengikat secara hukum, karena masih bersifat norma, tetapi dari situ nanti bisa maju lebih jauh lagi,” Nezar mengungkapkan.
Menurut Nezar, masing-masing negara sebetulnya sudah memiliki regulator framework-nya masing-masing, tapi berbeda-beda tingkatannya.
“Karena watak AI ini sangat dinamis, cepat, tidak terprediksi, serta possibility dan probability-nya, itu luar biasa. Dengan demikian, negara-negara yang ikut dalam perlombaan AI ini, membuat pagar-pagarnya supaya tidak harmful ke manusia,” kata Wamenkominfo.
Di Indonesia sendiri, Nezar mengungkapkan Kementerian Kominfo akan segera mengeluarkan Surat Edaran Panduan Pemakaian AI untuk semua sektor.
“(Panduan penggunaannya) lebih ke etika, karena memang untuk sampai ke hard-nya, kita harus me-review semua perkembangannya dulu, dan bicara dengan stakeholders,” kata Nezar.
“Jadi kami tidak mau membatasi inovasinya juga, kami sepakat dengan negara-negara lain untuk memaksimalkan benefitnya, meminimalkan risikonya,” imbuhnya.
Wamenkominfo pun mengungkapkan, industri-industri di Indonesia juga telah memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan.
“Media sudah pakai, media paling banyak pakai dan terpapar AI ini. Terus juga transportasi, kesehatan, itu sudah memakai yang namanya AI. Yang paling besar terpapar adalah sektor informasi,” ucap Nezar.
“Di sektor customer relation management, itu sudah pakai chatbot, menggantikan orang. Ini makin canggih, jadi dia bisa berinteraksi lebih intim dan pengembangannya akan sangat personalized,” ujarnya menambahkan.
Dalam kesempatan tersebut, Nezar juga mengingatkan masyarakat untuk selalu melakukan check dan recheck, apabila menerima sebuah informasi di media sosial, mengingat saat ini, AI juga dapat disalahgunakan untuk menyebarkan misinformasi.
“Kalau menerima konten yang agak meragukan, misalnya too good to be true, seperti contohnya presiden berbahasa Mandarin, tentu saja menimbulkan pertanyaan, itu bisa cek ke sumber yang otoritatif,” katanya.