Data World Instant Noodles Association (WINA) pada 2022 mencatat Indonesia di posisi kedua sebagai negara dengan konsumsi mi instan terbanyak di dunia setelah China. Konsumsi mi instan di Indonesia pada 2022 mencapai 14,26 juta porsi meningkat dari konsumsi 2021 sebanyak 13,27 juta porsi.
Adapun negara pertama dengan konsumsi mi instan terbanyak yakni China dengan angka konsumsi mencapai 45,07 juta porsi pada 2022. Adapun data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor gandum dan meslin pada 2023 hingga November mencapai 9,47 juta ton. Jumlah impor tersebut naik sekitar 74.974 ton dari total impor pada 2022 sebanyak 9,40 juta ton.
Meskipun volume impor gandum dan meslin naik, tetapi nilai impor pada 2023 mengalami penurunan menjadi US$3,34 miliar atau sekitar Rp52,5 triliun. Sementara nilai impor gandum dan meslin pada 2022 sebesar US$3,79 miliar atau sekitar Rp59,6 triliun. Penurunan nilai impor terjadi lantaran adanya perubahan harga gandum di pasar global.
Guru Besar IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas Santosa membeberkan, aturan bebas tarif telah memudahkan masuknya gandum impor ke Indonesia. Menurutnya, selama ini gandum dan kedelai masuk dalam komoditas pangan yang importasinya tidak dibatasi.
“Persoalannya bukan seberapa besar impornya, gandum dan kedelai itu dimasukkan dalam unregulated commodities. Tarif impornya 0%,” ujar Andreas saat dihubungi, Rabu (24/1/2024).
Selain soal tarif impor yang longgar, Andreas menyebut kualitas dan harga menjadi alasan makanan berbasis gandum mulai menjadi pilihan yang kompetitif dibandingkan pangan pokok lokal lainnya. Dia menyebut, harga gandum yang diimpor pada 2020-2021 berada di kisaran Rp8.800-Rp9.500 per kilogram.
Sedangkan beras harganya lebih tinggi di atas Rp10.000 per kilogram. Gandum menjadi salah satu bahan pokok yang memiliki kualitas dan gizi yang lebih baik, namun harganya justru lebih rendah dibandingkan beras atau pangan pokok alternatif lainnya.
“Lalu kita mau bicara diversifikasi pangan? Mocaf Rp15.000 [per kilogram], sagu Rp30.000 [per kilogram], apalagi kemarin itu porang lebih mahal. Sederhana, pasar hanya mengenal harga dan kualitas,” tuturnya.
Merespons hal tersebut, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi menyebut adanya gandum sebagai alternatif bahan pokok masyarakat menandakan kedaulatan pangan. Diversifikasi pangan dianggap penting.
“Kedaulatan pangan itu kita boleh menentukan makanan kita sendiri. Jadi boleh makan apa aja, makan singkong, keju dan lainnya itu daulat. Karena itu, diversifikasi pangan jadi penting,” kata Arief saat dihubungi.
Adapun ihwal importasi gandum yang melonjak, Arief pun punya pandangan sendiri. Menurutnya, impor dan ekspor pangan menjadi suatu aktivitas yang wajar dalam perdagangan antar negara.
“Kalau kita semua sepakat enggak mau makan makanan impor, stop saja impornya kan gitu. Kalau menekan [impor] ya namanya trading itu kan mengeskpor yang kita punya, dan mengimpor yang dia punya. Manusia itu diciptakan untuk bekerja sama,” jelasnya dikutip dari bisnis indoesia.
Dia pun mengaku telah berupaya untuk mendorong konsumsi pangan lokal di masyarakat. Sejumlah program, kata Arief, telah dilakukan Bapanas seperti kampanye pangan lokal, edukasi gizi berimbang dan lainnya. Dia menambahkan, urusan impor gandum bukan menjadi ranah kebijakannya. Sebab, rekomendasi impor datang dari kementerian teknis seperti Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.
“Kita sudah campign [pangan lokal] ke seluruh Indonesia. Badan pangan gak ngurusin impor gandum lah,” imbuhnya.