ASPEK.ID, JAKARTA – Ombudsman menyebut bahwa pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi sejumlah masalah yang terjadi PT Asabri (Persero).
PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau PT Asabri (Persero) merupakan perusahaan pelat merah yang bergerak dibidang Asuransi Sosial dan pembayaran pensiun khusus untuk Prajurit TNI, Anggota Polri, PNS Kementerian Pertahanan Republik Indonesia dan Polri.
Anggota Ombudsman Alamsyah Saragih menjelaskan, OJK tidak bisa mengawasi PT Asabri (Persero) lantaran terhalang oleh Peraturan Presiden (PP) Nomor 102 tahun 2015 tentang asuransi sosial prajurit TNI, anggota Polri, dan pegawai aparatur sipil negara.
Sedangkan Ombudsman adalah lembaga Negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara Negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN dan BUMND serta Badan Hukum milik Negara serta Badan Swasta atau perseorangan.
Yang diawasi tersebut adalah yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja Negara dan/atau anggran pendapatan dan belanja daerah (Pasal 1 UU Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman).
“Ini polemik ketika PT Asabri (Persero) dinyatakan tidak bisa diawasi oleh OJK. Kami melihat ada PP 102/2015 yang dibuat tidak relevan dengan peraturan perasuransian,” kata Alamsyah dilansir dari laman Detikcom di Jakarta, Rabu (22/1/2020).
Dalam pasal 54 PP itu juga disebutkan, yang berhak melakukan pengawasan pada Asabri yaitu Inspektorat Jenderal Kementerian Pertahanan, Inspektorat Pengawasan Umum Mabes Polri dan TNI, Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta auditor independen.
Padahal, kata Alamsyah, tahun 2015 OJK sudah ada. Untuk itu, pihaknya akan memanggil Kementerian Hukum dan HAM terkait penerbitan PP 102/2015. Ia ingin tahu siapa penggagas lahirnya PP, siapa saja pihak yang terlibat dan mengapa aturan tersebut bisa lahir.
“Dulu penggagasnya siapa, lalu siapa yang terkait dan mengapa ini bisa terjadi?” tanyanya.
“Kalau memang suatu saat kita menyarankan untuk diamandemen ya harus diamandemen. Tapi kalau presiden pikir daripada pusing dicabut saja (PP 102) itu lebih baik. Supaya tidak ada ambigu dan OJK bisa ikut mengawasi asabri sebagai perusahaan asuransi,” imbuhnya.
Diberitakan sebelumnya, BPK tengah mendalami kasus dugaan korupsi di PT Asabri (Persero). Hal ini dilakukan setelah BPK menemukan potensi kerugian perusahaan sebesar Rp 16,7 triliun.
Perhitungan kerugian tersebut berasal dari kesalahan penempatan investasi Asabri pada 2 instrumen investasi yakni saham dan reksadana. Di mana kerugian investasi reksadana sekitar Rp 6,7 triliun, sedangkan saham Rp 9,7 triliun.
Sementara itu, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan bahwa keadaan keuangan di Asabri stabil. Namun, jika ada penyelewengan penurunan aset karena salah investasi maka akan ada prosesnya sendiri.
“Ya biar itu kan berjalan sesuai dengan aturannya. Dan tentu domain hukum bukan di kementerian BUMN, tapi kalau kami kan lebih ke korporasinya,” kata Erick.
Ia mengatakan saat ini operasional di Asabri berjalan baik. Ditegaskan, sesuai dengan statement Presiden bahwa untuk kasus Jiwasraya Presiden ingin memastikan nasabah terjamin dan tentu untuk Asabri sendiri Presiden sudah menyampaikan bahwa untuk prajurit, Polri semua berjalan dengan baik.
“Jadi tidak usah ada isu yang lain, isunya antara operasional berjalan baik, tapi kalau ada misalnya penyelewenangan itu proses hukum seperti yang ada di Jiwasraya,” jelasnya.