ASPEK.ID, JAKARTA – Setelah Indonesia berhasil merdeka pada 17 Agustus 1945, perjuangan masih terus dilanjutkan oleh para pahlawan bangsa.
Kesenjangan sosial yang masih timpang, menjadi alasan kuat sehingga para pejuang membuat pergolakan serta perjuangan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Namun, tahukah anda, ada warga asing yang ikut menjadi pejuang HAM di Indonesia? Dia adalah Johannes Cornelis Princen, prajurit militer Belanda yang membelot ke Indonesia.
Dia juga bergelar Haji sehingga namanya sering disebut sebagai Haji Johannes Cornelis (HJC) Princen
Berikut ini Aspek.id tampilkan biografi singkatnya :
***
Pria yang akrab dipanggil Poncke ini lahir di Den Haag, Belanda, pada 21 November 1925. Dia memilih untuk menjadi warga negara Indonesia (WNI), antara 1950-1953, setelah melihat ketidakadilan yang dirasakan warga dan ikut berjuang bersama pahlawan Indonesa.
Poncke yang berada di bawah bendera Belanda, muak menyaksikan sikap yang dilakukan oleh negaranya sendiri–walaupun saat itu Indonesia telah merdeka.
Pada 26 September 1948, mereka memutuskan meninggalkan KNIL di Jakarta dan bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Nama Poncke konon diperolehnya dari roman yang digemarinya tentang pastur jenaka di Belgia Utara yang bernama Pastoor Poncke.
Perang Gerilya
Ketika tentara negerinya menyerang Yogyakarta tahun 1949 dia telah bergabung dengan divisi Siliwangi dengan nomor pokok prajurit 251121085, kompi staf brigade infanteri 2, Grup Purwakarta. Dia ikut longmarch ke Jawa Barat dan terus aktif dalam perang gerilya.
Isterinya, seorang peranakan republiken Sunda dibunuh tentara Belanda dalam sebuah penyergapan dan pertempuran sengit. Tidak cuma isterinya, anaknya yang dalam kandungan ikut tewas. Poncke mendapat anugerah Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno pada tahun 1949.
Pada tahun 1948, walaupun dia seorang Belanda, secara langsung menerima penghargaan Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno.
Setelah resmi menjadi bagian dari Indonesia, ia bahkan menjadi mualaf, dengan alasan tidak ingin tanggung-tanggung menjadi Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim serta menunaikan ibadah haji sesudahnya.
Orde Lama
Pada tahun 1956, Princen menjadi politikus populer Indonesia dan menjadi anggota parlemen nasional mewakili Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Tetapi dia pun akhirnya juga menyaksikan berbagai penyelewengan yang terjadi di dalam birokrasi saat itu.
Dia juga kecewa dengan iklim politik yang semakin tidak kondusif. Dia pun keluar dari parlemen dan mulai bersikap vokal terhadap pemerintahan yang mulai otoriter saat itu dengan pihak militer yang bertindak sewenang-wenang.
Princen ditahan dan dipenjara dari 1957 hingga 1958. setelah bebas pada awal tahun 1960an, dia mulai lebih terfokus aktif dalam kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia dengan mendirikan Liga Demokrasi, karena aktivitasnya yang kritis tersebut peraih bintang gerilya ini akhirnya dipenjarakan pemerintah Soekarno (1962-1966).
Semenjak akhir tahun 1965, kekuasaan Presiden Sukarno mulai merosot karena dibabat habis oleh Angkatan Darat sehingga pamornya hilang semenjak Maret 1966 seiring dimulainya masa Orde Baru, menggantikan Orde Lama.
Princen pun menikmati kebebasan kembali setelah dipenjara selama 4 tahun. Pengalaman hidupnya dari penjara ke penjara semakin mempertebal keyakinannya untuk mendesak negara memberikan perlindungan dan penegakan HAM.
Dia mendirikan Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia LPHAM dan sekaligus memimpin lembaga pembela HAM pertama di Indonesia tersebut.
Orde Baru
Princen dikecewakan rezim yang baru, pun perjuangannya pun tak berhenti walaupun rezim yang berkuasa sudah ganti. Princen justru membela pihak yang dulu memojokkannya, ia membela korban-korban pelanggaran HAM dan pembantaian yang terdiri dari bekas anggota PKI dan orang-orang yang dituduh komunis.
Pada tahun 1968 dia menitipkan sebuah perekam suara kepada Goenawan Moehammad yang saat itu bekerja di Harian Kami dan termasuk dalam rombongan pertama wartawan dari Jakarta yang akhirnya mendapat izin penguasa untuk melihat para tahanan politik di Pulau Buru.
Dia memintanya mewawancarai Pramoedya Ananta Toer diam-diam dan membuat sedikti laporan tentang keadaan di Kamp tahanan itu buat Amnesty International yang kemudian mengangkat Pramoedya sebagai ‘Prisoner of Conscience” lambang korban yang terinjak.
Tahun berikutnya, atas kejadian tersebut sendiri di kalangan umum juga sempat mendapat cap ‘komunis’ – orang lupa bahwa dia juga menentang kekuasaan yang didominasi komunis pada masa Orde Lama.
Pada tahun 1968-1969, lewat sebuah investigasi, Princen mengungkapkan sejumlah fakta dan memprotes pembantaian massal PKI di Purwodadi Jawa Tengah. Kritik itu jelas melahirkan murka penguasa yang baru dua tahun menikmati imperiumnya.
Tidak hanya harus membantah pemberitaan yang menghebohkan tersebut, pemerintah juga perlu mengambil tindakan yang lebih serius tidak hanya terhadap Poncke tapi juga terhadap pers, masyarakat Jawa Tengah dan masyarakat Indonesia.
Tuduhan pengikut komunis sebagai stigma yang paling terkenal untuk mengamputasi musuh politik orde baru digunakan Soeharto, Jenderal M. Panggabean (Panglima AD-KSAD pada waktu itu) dan Mayjen Soerono Reksodimedjo (Pangdam IV Diponegoro) disematkan kepada Princen agar kemudian lebih mudah untuk memenjarakannya.
Tidak hanya kritik, dia juga menyarankan pemerintah membentuk tim independen untuk memeriksa laporan yang disiarkan ke beberapa media nasional soal kasus Purwodadi. Hal itu ditujukan agar masyarakat dapat mengetahui apa yang sebenaranya terjadi pada kasus yang cukup menghebohkan masyarakat pesisir utara Jawa Tengah tersebut.
Begitu mengerikannya dampak kasus ini, pada tahun yang sama, ia bersama dengan rekan-rekannya mendirikan sebuah lembaga yang mencoba mengatasi trauma para korban PKI yang ia namakan Pusat Pemulihan Hidup Baru.
Gerakannya semakin meluas seiring ketidakadilan yang ia saksikan. Tahun 1970, dia menjadi salah satu yang mempelopori berdirinya Lembaga Bantuan Hukum. Pada tahun 1974, dia juga terlibat dalam penggalangan demonstrasi menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah.
Pembangunan monumen raksasa ini secara umum dinilai sebagai langkah yang sangat tidak tepat di tengah kondisi sosial-ekonomi yang masih buruk di saat itu. Princen dipenjarakan karena aksinya ini, sejak tahun 1974 hingga 1976.
Perjuangan Hingga Akhir Hayat
Sejak dibebaskan tahun 1976, Princen juga pernah terlibat dalam pembelaan HAM di Timor Timur salah satu dari dua kasus yang menonjol adalah pembantaian Santa Cruz dan melindungi puluhan mahasiswa Timor-Timur. Dia juga aktif dalam masalah perburuhan.
Sejak tahun 1976 dia tak pernah dipenjarakan secara permanen, tetapi berulang kali diinterogasi dan juga diawasi secara ketat oleh polisi, dan mungkin juga militer (yang tak jelas bedanya saat itu – sama-sama ABRI).
Tahun 1980, ia juga ikut mendirikan YLBHI, menjadi pengacara para korban pada peristiwa pembantaian Tanjung Priok (1984), membela puluhan mahasiswa ITB yang ditahan karena mendemo Mendagri Rudini (1989).
Dia juga mendirikan sebuah Koalisi HAM yang bernama Indonesia Front for Defending Human Right (INFIGHT) 1989, Serikat Buruh Merdeka Setiakawan (SBMS) tahun 1990, KontraS (1998) dan lain-lain.
Princen meninggal pada 22 Februari 2002 sebagai figur yang sangat dihormati dan dihargai oleh tokoh dari berbagai golongan.