Menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah impian banyak orang, terlebih mereka yang belum punya pekerjaan. Hampir setiap tahun, jutaan orang memperebutkan profesi ini lantaran menjanjikan karena mampu menjamin kestabilan hidup hingga purnakarya.
Namun, hidup berkecukupan dan memiliki penghasilan tetap karena mengabdi pada negara lantas tak membuat KDR (48 tahun) bisa menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan terlarang, melawan hukum serta mengancam profesinya sebagai ASN.
Oknum ASN di kantor Camat Serbajadi, Aceh Timur ini nekat menjual kulit Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae), satwa yang dilindungi keberadaannya oleh undang-undang. Dia bahkan mengajak sang anak, MHB (24 tahun) ikut serta bersamanya.
Aksi mereka berhasil digagalkan personel Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Aceh. Keduanya ditangkap pada Januari 2024 lalu saat akan melakukan transaksi di kawasan Peureulak, Aceh Timur.
Saat ini, kasus mereka telah dihadapkan ke meja hijau. Pada akhir Maret lalu, kedua terdakwa menjalani persidangan perdana secara virtual di Pengadilan Negeri (PN) Idi, dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Idi, Aceh Timur, tempatnya selama ini ditahan.
MHB terpaksa meninggalkan istri dan kedua buah hatinya, putri kembar yang baru berusia satu tahun di rumah, sembari menunggu proses hukum. Sedangkan sang ayah, KDR menanti sanksi yang lebih berat, yakni dipecat dari ASN jika di persidangan nanti terbukti bersalah.
Diberhentikan Sementara
Kepala Bidang Penilaian Kinerja Aparatur dan Penghargaan pada Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten Aceh Timur, Rudi Rinaldi, mengatakan status kepegawaian KDR sudah diberhentikan sementara sebagai PNS.
“Saat ini sudah diberhentikan sementara. Pemberhentian sementara tersebut berlaku terhitung tanggal penahanannya sebagaimana tercantum dalam surat penahanan yang ditetapkan oleh pihak berwajib,” kata Rudi Rinaldi, Kamis (25/4/2024).
Saat ini, pihaknya masih menunggu keputusan dari Pengadilan. Tetapi apabila Pengadilan menyatakan bahwa ASN tersebut tidak terbukti melakukan tindak pidana, maka surat keputusan pemberhentian sementara akan dicabut, dan hak-hak kepegawaiannya selama pemberhentian sementara dibayarkan kembali.
“Kalau terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman pidana penjara paling singkat 2 tahun, maka bisa diberhentikan. Ini untuk tindak pidana umum, jadi untuk diberhentikan atau tidak tergantung dari putusan hakim berapa tahun penjaranya. Tapi kalau seperti tindak pidana korupsi dan penggunaan narkotika, maka dapat langsung diberhentikan secara tidak hormat,” jelasnya.
Membantu Sang Ayah
Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Timur, Ricky Rosiwa mengatakan, kejadian berawal pada awal November 2023 saat KDR bertemu dengan Aman Kasran alias Adi di Desa Rampak, Serbajadi, Aceh Timur. Adi saat ini masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Adi adalah orang yang memberi uang dan menyuruh KDR untuk membeli kawat yang akan digunakan untuk menjerat Harimau di hutan belantara Lokop, Aceh Timur. Berselang 2 bulan kemudian, Adi mengabari bahwa ‘barang haram’ berupa kulit dan tulang belulang serta tengkorak Harimau Sumatera sudah ada di rumahnya seraya meminta KDR untuk mencarikan pembelinya.
Lalu, pada Jumat (19/1) pagi, Adi kembali menghubungi KDR dan memintanya untuk mengantarkan ‘barang’ itu kepada calon pembeli di pasar Peureulak, Aceh Timur dengan harga Rp33 juta. Dari harga itu, KDR menerima upah untuk mengantar sebesar Rp2,5 juta.
Karena perjalanan yang terbilang cukup jauh, KDR lantas mengajak sang anak, yakni terdakwa II (MHB) untuk ikut pergi bersamanya ke lokasi pertemuan. Keduanya berangkat menggunakan mobil Toyota Avanza warna Hitam BK 1316 VQ milik KDR.
Di perjalanan, MHB sempat bertanya kepada Ayahnya mengenai isi tas ransel warna hitam dan karung warna putih di mobil mereka. “Isinya kulit dan tulang Harimau,” jawab KDR.
Lalu sesampainya di pasar Peureulak, keduanya berhenti dan keluar dari mobil. KDR pergi menjumpai calon pembeli, sedangkan MHB duduk sambil menunggu di warung kopi.
Tak lama kemudian, KDR menelepon MHB dan memintanya untuk pergi ke belakang Pasar Baru di pajak ikan membawa mobil sekaligus ‘barang’ yang ada di mobil. Sesampainya di lokasi, keduanya langsung diamankan oleh personel Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Aceh yang telah menunggu di sana.
Perbuatan kedua terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b dan d Jo. Pasal 40 ayat (2) Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Dalam eksepsinya, kuasa hukum kedua terdakwa, Abass S. Rachman menyampaikan keberatannya atas dakwaan JPU yang ikut mendakwa terdakwa ll (MHB). Dimana secara kronologis, keterlibatan MHB hanya sebatas membantu mengendarai mobil atas permintaan ayah yang tidak mungkin ditolak.
Apalagi KDR tidak bisa menyetir jauh karena masalah penglihatan dan mengandalkan alat bantu berupa kaca mata. Atas dasar itulah kuasa hukum meminta agar MHB dibebaskan dari segala dakwaan, memulihkan harta martabat serta nama baik terdakwa II. Namun, majelis hakim menolaknya.
4 Kasus; 10 Terdakwa, 1 Gajah & 5 Harimau
Kepala Kejari Aceh Timur, Lukman Hakim melalui Kepala Seksi Pengelolaan Barang Bukti dan Barang Rampasan (PB3R), Deby Rinaldy mengatakan, sepanjang 2021 hingga 2024 pihaknya telah menuntut 3 kasus perburuan dan kematian satwa liar dilindungi, baik Gajah Sumatera maupun Harimau Sumatera, serta 1 kasus yang saat ini sedang berjalan.
Dalam kasus itu, para pelaku dituntut bervariasi seperti 5 pelaku dalam kasus pembunuhan Gajah Sumatera yang ditemukan tanpa kepala di area PT Bumi Flora dengan tuntutan masing-masing 54 bulan atau 4 tahun 6 bulan penjara pada tahun 2021. Namun, vonis hukuman yang dijatuhkan oleh majelis hakim hanya 3 tahun 6 bulan penjara.
“Sedangkan barang bukti pembunuhan dan perdagangan organ tubuh Gajah Sumatera berupa gading gajah baik yang telah diolah menjadi aksesoris maupun yang belum tersebut telah diserahkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh,” jelas Deby Rinaldy, Selasa (16/4).
Sementara pada 2022, Kejari Aceh Timur menuntut 2 terdakwa pemburu babi asal Sumatera Utara atas kematian 3 Harimau Sumatera akibat terjerat dengan hukuman masing-masing 2 tahun 6 bulan penjara. Namun, majelis hakim menjatuhkan vonis 16 bulan penjara dan diperberat oleh Pengadilan Tinggi Banda Aceh menjadi 2 tahun 6 bulan penjara.
“Untuk barang bukti berupa 3 bangkai Harimau langsung dikubur di lokasi karena sudah membusuk. Hanya beberapa helai bulu burung kuau raja dan dua alat penjerat seling/areng dalam keadaan rusak yang hanya dijadikan barang bukti lainnya dalam persidangan,” tambah Deby.
Kemudian pada 2023, Kejari Aceh Timur juga menuntut pembunuh Harimau Sumatera dengan cara menaburkan racun hama ke bangkai kambing yang dimangsa dengan tuntutan 2 tahun 6 bulan penjara. Vonis majelis hakim 1 tahun 8 bulan penjara.
“Untuk barang buktinya, dua hari setelah ditemukan mati langsung diambil BKSDA Aceh untuk dimusnahkan dengan cara dibakar dan dikubur. Walaupun saat itu belum diketahui apa penyebab matinya. Yang dibawa polisi sebagai barang bukti dalam persidangan hanya satu kantong plastik berwarna putih yang berisikan racun hama merek curater,” kata Deby Rinaldy.
Satwa Lindung Aceh Diincar Dunia
Jumlah perputaran uang hasil perdagangan satwa lindung merupakan yang terbesar ketiga di dunia, setelah perdagangan obat-obatan terlarang dan perdagangan senjata api ilegal. Para ahli di TRAFFIC, jaringan global pemantau perdagangan satwa liar, memperkirakan jumlahnya mencapai miliaran dolar AS.
Satwa lindung di Aceh pun tak luput dari incaran untuk diperjualbelikan di pasar lokal, nasional hingga ke pasar internasional sehingga memicu hilangnya keanekaragaman hayati, degradasi lingkungan, kerugian ekonomi, serta juga menjadi celah korupsi.
Pegiat lingkungan Tezar Pahlevi mengatakan, fenomena ini tak terlepas karena Aceh masih memiliki tutupan hutan yang masih bagus jika dibandingkan dengan daerah lain. Begitu juga dengan kekayaan alam yang dimiliki, termasuk flora dan fauna didalamnya.
“Perburuan dan perdagangan satwa lindung dilatarbelakangi beberapa faktor, seperti permintaan untuk konsumsi, obat-obatan dan untuk peliharaan,” kata Tezar.
Selain itu, perburuan dan perdagangan marak terjadi juga karena satwa lindung ‘diyakini’ memiliki nilai ekonomis yang tinggi di pasar gelap, ditambah rendahnya kepedulian dalam hal konservasi tumbuhan dan satwa liar.
Tezar juga mengakui, dari sekian banyak barang bukti kasus perburuan dan perdagangan satwa liar, pihaknya tidak mendapat informasi yang cukup bagaimana pengelolaan barang bukti itu dilaksanakan, terutama setelah ada putusan dari pengadilan apakah telah sesuai dengan prosedur atau tidak.
Ditambahkannya, banyak informasi yang sejatinya harus mendapat konfirmasi/penjelasan dari pihak terkait. Misalnya, ada bagian satwa lidung yang diserahkan ke lembaga konservasi yang ‘terpaksa’ kemudian harus dimusnahkan.
Sementara pada amar vonis Pengadilan, barang bukti tersebut tidak untuk di musnahkan; atau bagaimana kondisi satwa pada masa proses rehabilitasi sebelum dikembalikan ke habitatnya, maka dari itu hal-hal seperti ini publik berhak untuk tau.
“Lembaga konservasi dan atau lembaga terkait lainnya yang diserahkan untuk mengelola harus lebih terbuka, termasuk tentang bagaimana kapasitas yang dimilki. Jadi tidak hanya asal terima, sementara fasilitas serta sumber daya tidak mendukung,” tutup Tezar.
Kejahatan Lingkungan 2019-2023
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Ujang Wisnu Barata menyebutkan bahwa pihaknya telah menangani ratusan barang bukti Tindak Pidana Lingkungan Hidup Kehutanan (TPLHK) dari 51 kasus sepanjang tahun 2019 hingga tahun 2023.
Segala jenis barang bukti, kata dia, diperlakuan secara umum sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) UU No.5/1990 yang berbunyi: “Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi atau bagian-bagiannya yang dirampas untuk negara, harus dikembalikan ke habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dari satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan”.
“Segala sesuatu yang menjadi barang rampasan negara, dari berbagai macam bentuk, untuk mengambilnya kita mendapat surat undangan, lalu dijemput dengan berita acara serah terima kemudian kita bawa ke Balai. Tetapi ada juga yang diserahkan langsung ke BKSDA,” jelasnya.
Barang bukti dari 51 kasus sejak 2019-2023 yang diserahkan ke BKSDA ada yang telah dimusnahkan antara lain 3,5 kg sisik Trenggiling (0,5 kg disimpan) di Bireuen, 6,3 kg sisik Trenggiling di Banda Aceh, kulit dan tulang Harimau Sumatera, 28 kg sisik Trenggiling dan 71 buah paruh/balung burung Rangkong Gading di Aceh Tengah, 1 opsetan Macan Tutul dan 1 opsetan Macan Kumbang di Banda Aceh, dan 5 kulit Harimau Sumatera asal Aceh Tenggara dan Aceh Timur serta jerat dan tapak kaki Gajah asal Aceh Tenggara.
Kemudian ada sejumlah barang bukti yang disimpan dengan baik di ruang penyimpanan BKSDA Aceh seperti 2 patung opsetan Beruang Madu, 1 patung opsetan Trenggiling, 1 batang tanduk Rusa Sambar, 3 paruh burung Rangkong Gading, 1 patung opsetan Harimau Sumatera, 2 opsetan burung Cendrawasih Kecil, 2 opsetan burung Cendrawasih Botak, 1 paruh burung Enggang Cula, ± 23,9 kg sisik Trenggiling, 11 kulit Harimau beserta gigi dan tulang belulangnya, 4 pasang gading Gajah jinak, sepasang gading Gajah liar, serpihan gading Gajah asal Aceh Timur, dan 1 batang gading gajah yang disita Gakkum KLHK di Bandara SIM.
Kemudian ada yang dilepasliarkan seperti 1 anak beruang madu di Aceh Barat, dan 5 ekor burung Tiong Emas di Aceh Selatan. Lalu ada yang mati diantaranya 2 ekor bayi Kucing Kuwuk, 1 ekor Owa Siamang dan ada juga yang dititipkan seperti 3 anak Orangutan di Pusat Karantina Orangutan di Sibolangit (1 diantaranya mati).
Lalu ada 2 ekor burung Kakatua Jambul Kuning dan 1 ekor burung Merak Biru (dititip ke Taman Rusa), dan tulang belulang Gajah Sumatera jinak bernama Olo asal CRU sampoiniet yang dititip ke Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
“Penanganan barang bukti adalah proses kegiatan yang meliputi identifikasi, pengamanan (pengawalan, penjagaan, pengujian laboratorium, pembungkusan, dan penyegelan), pengangkutan, penyimpanan, perawatan atau pemeliharan, penitipan, pelelangan, peruntukan, pemusnahan dan/atau pelepasliaran barang bukti,” tutupnya. [ZA]