Oleh Dr. Taufik Abdul Rahim (Pengamat Ekonomi dan Politik dari Universitas Muhammadiyah Aceh)
Ditandatanganinya kontrak pengelolaan dua blok Gas di laut lepas Aceh oleh Perusahaan Conrad Asia Energy Ltd. Berasal dari Singapura, pada wilayah kerja Aceh minyak dan gas bumi (migas). Hal ini dilaksanakan leh WK Offshore North West Aceh (Meulaboh) dan Offshore South West Aceh (Singkil), pada Kamis 5 Januari 2023.
Dimana penandatangan tersebut dilakukan oleh anak usaha Conrad ONWA Pte. Ltd sebagai kontraktor WK Offshore West Aceh (Singkil), dengan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA). Selanjutnya Direktur Jenderal Migas Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji menyatakan, penandatangan kedua kerja sama tersebut merupakan hasil lelang langsung tahap I tahun 2022 periode Juli-September 2022.
Kemudian kontrak bagi hasil, cost covery tersebut merupakan kontrak eksplorasi dengan jangka waktu kontrak 30 tahun dengn split bagi hasil 60:40 untuk minyak dan 55:45 untuk gas. Hal ini semua sesuai dengan aturan dan undang-undang yang berlaku sebelum melakukan penandatangan kontrak. Maka kontrak dengan total komitmen dari dua WK sekitar angka US Dollar 30 juta dan total bonus tanda tangan senilai US Dollar 100.000. Juga untuk komitmen investasi 3 tahun pertama, ONWA Pte. Ltd mengeluarkan dana US Dollar 15 juta dengan bonus tanda tangan sebesar US Dollar 50.000. Secara tegas dinyatakan bahwa, komitmen meliputiaktivitas studi G&G, seismik 3D 500 km2, terhadap 1 sumur eksplorasi.
Pada dasarnya kedua blok migas tersebut berada di laut lepas Aceh, diperkirakan memiliki sumber daya alam dan ekonomi yang berlimpa. Dimana blok Meulaboh diperkirakan memiliki sumber daya minyak mencapai 800 juta barel minyak (millions barrel of oil/MMBO) dan gas sekitar 4,8 triliun kaki kubik (trillion cubic feet/TCF). Demikian juga unit blok Singkil bekisar 1,4 miliar barel minyak (billion barrels of oil/BBO). Ini semua dilaksanakan serta ditentukan oleh Pemerintah Pusat melalui Kementrian ESDM, sehingga Aceh hanya merupakan lokasi sumber daya migas saja, dan melalui BPMA sebagai perantara, maka sumber daya alam tersebut milk negara atau Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan milik Aceh.
Secara tegas kita merujuk kepada Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, ayat 1,2,3,4 dan 5, jelas merupakan landasan konstitusi bangsa dan negara Indonesia. Demikian pula jika merujuk kepada Memorandum of Understanding (MoU) 15 Agustus 2005 semestinya yang dinyatakan 70 persen, ternyata berubah menjadi 30 persen setelah terjadi perubahan serta perdebatan. Pada poin 1.3.4 MoU Helsinki menyebutkan, “Aceh berhak menguasai 70 persen hasil dari semua cadangan hidrokrabon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial wilayah Aceh.
Namun demikian angka tersebut berubah dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh, ada yang lebih besar, namun juga ada yang jauh lebih kecil. Pada pasal 181 UUPA yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada 1 Agustus 2006 disebutkan bahwa: Dana bagi hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya, yaitu: 1. Bagian dari kehutanan sebesar 80 persen. 2. Bagian dari perikanan sebesar 80 persen. 3. Bagian dari pertambangan umum sebesar 80 persen. 4. Bagian dari pertambangan panas bumi sebesar 80 persen. 5. Bagian dari pertambangan minyak sebesar 15 persen. 6. Bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 30 persen.
Demikian juga selain dana bagi hasil, Pemerintah Aceh mendapat tambahan dana bagi hasil minyak dan gas bumi yang merupakan dari penerimaan Pemerintah Aceh yaitu: a. Bagian dari pertambangan minyak sebesar 55 persen. b. Bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 40 persen. Karena itu pada saat pemerintah Aceh menghendaki atau menuntut jatah 70 persen dari hasil pertambangan minyak dan gas bumi saat penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2015, tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh, maka Pemerintah Pusat Jakarta berpegang kepada ketentuan UUPA yang telah ditetapkan sah secasra hukum dan undang-undang. Hal ini bermakna bahwa, ada kesalahan terhadap pemahaman serta ketentuan hukum yang tidak diperhatikan sama sekali saat UUPA disahkan pada poin 1.3.4, makanya MoU Helsinki pun tidak dapat lagi menjadi rujukan, karena telah diturunkan terhadap UUPA.
Dengan demikian, dalam PP Nomor 23 tahun 2015 yang ditandangani oleh Presiden Joko Widodo pada 5 Mei 2015, Aceh hanya mendapatkan bagi hasil sebesar 30 persen dari minyak dan gas bumi. Meskipun ada penambahan 15 persen dari pertambangan minyak dan gas bumi. Jika merujuk UUPA 15 persen dari pertambangan minyak, dalam PP Nomor 23 tahun 2015 menjadi 30 persen. Dalam keterangan PP Nomor 23 tahun 2015 berhubungan dengan bagi hasil minyak dan gas bumi.
Pasal 69; Penerimaan Negara Bukan Pajak berupa bagi hasil dalam pengelolaan sumber daya alam minyak dan Gas Bumi adalah untuk Pemerintah sebesar 70% (tujuh puluh persen) dan untuk Pemerintah Aceh sebesar 30% (tiga puluh persen). Dimana poin ini sesuai dengan UUPA, bahkan ada penambahan sebesar 15 persen untuk bagi hasil pertambangan minyak, tetapi tidak sesuai dengan MoU Helsinki yang menyebut 70 persen untuk Aceh.
Selanjutnya pada pasal 70; Bonus tanda tangan ysang diterima oleh Pemerintah Pusat akibat penandatangan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dibagi dua antara Pusat dan Pemerintah Aceh, masing-masing 50 persen. Kemudian pada pasal 71; Bonus produksi yang diterima oleh pemerintah sebagai bagi hasil tercapai target produksi sebagaimana tercantum dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) wajib dibagi dua antara Pemerintah Pusat dan Aceh, masing-masing mendapatkan 50 persen.
Karena itu, dua blok migas Aceh Meulaboh dan Singkil jelas merupakan milik Pemerintah Pusat Jakarta, bukan milik Aceh, hanya saja lokasi berada di perairan laut lepas Aceh, maka Pemerintah Aceh dan seluruh rakyat Aceh, bahkan elite politik dan Pemerintah Aceh masih berharap ketulusan dan keikhlasan Pemerintah Pusat untuk berbagi.
Demikian juga, terhadap Pemerintahan Aceh (eksekutif dan legislatif) serta rakyat Aceh juga berharap belas kasihan pemerintah pusat, termasuk untuk anggaran belanja publik (APBA), lapangan kerja kehidupan lainnya, agar Pemerintah Pusat Jakarta memberikan peluang dan kesempatan kerja, ini sesuai dengan keahliannya. Maka UUPA yang kecolongan tidak secara cermat dan teliti dibaca oleh elite politik dan pemegang kekuasaan di Aceh, kembali lagi sumber daya alam migas sepenuhnya milik Pemerintah Pusat Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap persentase penguasaan pembagiannnya.