Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyatakan dunia menghadapi lima risiko yang dapat memunculkan gejolak ekonomi, baik pada sisa tahun ini dan tahun depan.
Adapun, lima hal ini telah terjadi di kancah perekonomian global. Bahkan, beberapa di antaranya, mempengaruhi perekonomian Indonesia.
Perry mengungkapkan risiko pertama adalah perlambatan pertumbuhan.
Selain perlambatan ekonomi, dia juga melihat ada risiko-risiko sejumlah negara jatuh ke jurang resesi. Risiko terburuk, menurutnya, ekonomi dunia bisa tumbuh 2% pada tahun ini.
“Pertumbuhan dunia semula tahun ini 3% kemungkinan akan turun menjadi 2,6% bahkan juga ada risiko-risiko menjadi 2% terutama di AS dan di Eropa,” kata Perry dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, dikutip (22/11/2022).
BI pun mengingatkan resesi di AS dan di Eropa probabilitasnya sudah mendekati 60%. Kondisi ini akan diperparah dengan gelombang musim dingin yang diperkirakan akan buruk.
“Apalagi di Eropa, bahkan kondisi winter tahun ini belum yang terburuk, tahun depan yang terburuk karena ini berkaitan dengan geopolitik, fragmentasi politik ekonomi dan investasi, slowing growth,” ujarnya.
Kedua adalah inflasi tinggi atau high inflation. Inflasi global tahun ini diperkirakan mencapai 9,2%. Inflasi di AS bahkan mendekati 8,8%, Eropa 10% dan di Inggris kemarin mendekati 11%.
“Dari mana inflasinya, tentu saja harga energi dan tidak adanya pasokan energi akibat perang maupun kondisi geopololitik. Inflasi energi, inflasi pangan yang langsung kemudian berhubungan dengan kesejahteraan rakyat,” paparnya.
Ketiga, lanjut Perry, yaitu higher interest for longer period of time atau suku bunga yang tinggi dan akan berlangsung lama.
Arah bacaan suku bunga acuan tinggi merujuk pada kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) alias The Federal Reserve dan bank sentral negara maju lainnya.
Perry bilang, di AS kenaikan fed fund rate (FFR) pada bulan ini sebesar 75 basis point (bps) menjadi 4%, kemungkinan pada Desember 2022 akan naik lagi 50 bps menjadi 4,5% hingga 5% pada tahun depan.
“Kami memperkirakan tahun depan akan menaikkan kembali dari 4,5% menjadi 5%. Ada yang memperkirakan hingga 5,25% dan puncaknya mungkin triwulan I dan II (2023), dan tidak akan segera turun,” jelas Perry.
“Dan inilah high interest rate for longer period. Di Eropa juga begitu,” kata Perry lagi.
Keempat adalah fenomena strong dolar. Indeks dolar bahkan sempat mencapai 114, rekor tertingginya. Kondisi ini dirasakan oleh semua negara, tidak terkecuali Indonesia.
“Dolar menguat karena Fed Fund Rate naik dan yield US Treasury yang naik,” ujar Perry. Kemudian, risiko kelima adalah cash is the king.
Investor global akibat risiko portofolio naik, mereka memilih menumpuk uangnya di instrumen yang likuid, baik cash dan near cash. Lagi-lagi, kondisi ini terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. “Inilah mengapa terjadi aliran modal keluar.”
Perry menegaskan lima hal ini masih ditambah oleh ketidakpastian kapan perang Ukraina dan Rusia akan berakhir dan ketegangan geopolitik Taiwan dan China, serta lockdown Zero-Covid di China.
Untuk menghadapi ini, Perry berharap semua pihak di Indonesia melakukan sinergi.
“Sinergi, sinergi, sinergi. Koordinasi, koordinasi, koordinasi. Koordinasi harus erat,” tutup Perry.