ASPEK.ID, JAKARTA – Amerika Serikat (AS) telah mencabut status Indonesia sebagai negara berkembang di Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO. Indonesia pun terancam kehilangan fasilitas perdagangan ekspor dan impor yang umumnya diterima oleh negara-negara berkembang.
Pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi menilai bahwa keputusan AS mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang berpotensi menimbulkan beberapa dampak negatif atau buruk ke depannya.
“Dalam konteks ini, saya rasa pertimbangannya lebih ke politis daripada teknis yaitu ingin mengeluarkan Indonesia dari fasilitas yang biasa diterima oleh negara berkembang,” kata Fithra dilansir laman Antara di Jakarta, Senin (24/2).
Dia menyebutkan, ada beberapa ketentuan untuk mengklasifikasikan sebuah negara menjadi negara maju seperti sektor industrinya yang harus mampu berkontribusi terhadap Gross Domestic Product (GDP) minimal 30 persen.
“Kalau dilihat dari ukuran negara maju Indonesia belum masuk ke sana karena negara maju adalah negara yang berkontribusi industrinya terhadap GDP sudah 30 persen ke atas,” katanya.
Ia menyebutkan, meskipun saat ini industri di negara-negara maju kontribusinya terhadap GDP turun, namun negara tersebut telah melewati tahapan sebagai negara industri sehingga dapat dikategorikan sebagai negara maju.
“Setelah melewati tahap itu baru bisa masuk kategori developed. Meskipun sekarang negara maju kontribusi industri terhadap GDP turun tetapi mereka sudah melewati tahapan sebagai negara industri,” katanya.
Berikutnya, ketentuan yang dapat mengkategorikan sebuah negara menjadi maju adalah melalui pendapatan per kapita yang harus di atas 12 ribu dolar AS per tahun sedangkan Indonesia baru sekitar 4 ribu dolar AS per tahun.
Tak hanya itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau HDI (Human Development Index) juga menjadi salah satu tolak ukur yaitu semakin tinggi IPM maka semakin tinggi kemakmuran masyarakat di negara tersebut.
“Ditambah lagi dengan HDI kalau sudah di atas 0,85 HDI nya itu sudah menjadi negara maju tapi kita masih 0,7. Sebenarnya itu sudah cukup baik tapi belum bisa dikategorikan sebagai negara maju,” katanya.
Oleh sebab itu, dicabutnya status negara berkembang menyebabkan Indonesia tidak menerima fasilitas Official Development Assistance (ODA) yang merupakan alternatif pembiayaan dari pihak eksternal untuk melaksanakan pembangunan sosial dan ekonomi.
Melalui ODA, maka sebuah negara berkembang dikatakannya tidak hanya mendapat pendanaan dari pihak eksternal melainkan juga memperoleh bunga rendah dalam berutang.
Fithra melanjutkan, dampak terburuknya adalah terhadap perdagangan karena Indonesia akan menjadi subjek pengenaan tarif lebih tinggi karena tidak difasilitaskan lagi sebagai negara berkembang.
“Apalagi kita sekarang sudah menerima fasilitas pengurangan bea masuk Generalized System of Preferences (GSP) pasti ini juga akan berakhir dengan perubahan status ini,” ujarnya.