Oleh: SERGIE AMIR
Ketua Gerakan Rasional Publik (GRP)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama kepemimpinannya telah berhasil memberikan pondasi besar bagi pembangunan Indonesia, baik secara fisik maupun sumber daya manusianya.
Jokowi juga mampu membawa ekonomi Indonesia lebih maju, bahkan mampu menjaga stabilitas ekonomi di saat kondisi perekonomian global tidak menentu, baik di masa pandemi dan juga kondisi perang dagang serta berbagai konflik yang terjadi di beberapa negara.
Bahkan di masa kepemimpinan Presiden RI ke 7 ini di tengah kondisi seperti itu, Indonesia mampu menjaga inflasi tetap terkendali dan pertumbuhan ekonomi tetap stabil.
Hal ini bukan hanya sebatas pepesan kosong atau pencitraan belaka, kemajuan yang telah dilakukan oleh Jokowi di masa pemerintahannya diakui oleh dunia internasional.
Indonesia mendapatkan peringkat investment grade, layak investasi dari lembaga-lembaga pemeringkat internasional ternama seperti Moody’s, Fitch dan S&P, ini menunjukkan kepercayaan dunia internasional terhadap ketangguhan dan prospek positif ekonomi Indonesia.
Di masanya juga, Indonesia sukses menjadi Presiden G20 2022 dan Ketua ASEAN 2023. Hal ini tidaklah mudah, bahkan ada pihak yang meragukan Indonesia dapat menyelesaikan tugas dengan baik. Apalagi di masa Presidensi G20 2022, stabilitas dan perdamaian dunia diuji dengan invasi Rusia ke Ukraina, sementara saat menjadi Ketua ASEAN 2023, situasi saat itu juga tidak mudah karena dibebankan krisis politik Myanmar imbas kudeta junta militer.
Namun ternyata Indonesia mampu memimpin dengan sukses dan mendapatkan apresiasi tinggi dari negara-negara Internasional. Indonesia berhasil menyatukan perbedaan, hal ini dibuktikan dari terselenggaranya G20 dan ASEAN.
Sebenarnya sangat pantas jika Presiden Jokowi disebut sebagai pemimpin yang merakyat, karena ia fokus dan sangat perhatian terhadap isu-isu masyarakat bawah, terutama soal kemiskinan, meskipun banyak pihak yang menuding Jokowi tidak pro terhadap rakyat kecil, namun faktanya di masa Jokowi angka kemiskinan turun hingga sampai di angka 9 persen.
Pada 2014, angka kemiskinan di Indonesia berada di sekitar 11 persen, akan tetapi pada 2024 angka tersebut berhasil ditekan hingga sekitar 9 persen. Kemiskinan ekstrem juga turun menjadi 0,83 persen yang sebelumnya berada di angka 6 persen.
Jika ingin melihat data lain, kita juga bisa melihat penghargaan yang diberikan The Royal Islamic Strategic Studies Centre (TRISC) pada 2023, Presiden Joko Widodo menduduki posisi ke-13 dalam daftar 50 tokoh muslim berpengaruh di dunia.
Jokowi masuk dalam daftar tersebut karena dianggap sebagai tokoh yang memberikan pengaruh (baik secara budaya, ideologi, keuangan, politik, atau lainnya) untuk membuat perubahan yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap muslim atau dunia muslim.
TRISC menyebut Jokowi sebagai politikus bersih, Jokowi dinilai menempa reputasi karena menjadi politikus bersih, menghindari kasus korupsi dan nepotisme yang menggoda kebanyakan politisi.
Dan sejak 2014, Jokowi konsisten masuk dalam 50 besar tokoh muslim dunia versi TRISC.
Maka menjadi hal yang sangat janggal dan aneh, serta tidak rasional saat Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) mengumumkan Presiden RI ketujuh Joko Widodo masuk dalam nominasi finalis tokoh Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024.
Lembaga yang yang berkantor pusat di Amsterdam, Belanda menyebut Presiden RI ke 7 masuk dalam nominasi finalis tokoh Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024.
Ada apa dengan nominasi ini? Seolah-olah mengingatkan kita pada sikap tegasnya Presiden Jokowi terhadap Uni Eropa.
Saat di Brussel pada 2022 dulu Jokowi pernah mengatakan dalam pidatonya, “Jika kita ingin membangun sebuah kemitraan yang baik, maka kemitraan harus didasarkan pada kesetaraan, tidak boleh ada pemaksaan. Tidak boleh lagi ada pihak yang selalu mendikte dan beranggapan bahwa my standard is better than yours,” kata Jokowi dalam pidato di Brussel, 14 Desember 2022.
Apalagi Indonesia di masa Jokowi pernah digugat Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) atas kebijakan melarang ekspor bijih nikel ke luar negeri.
Saat itu Jokowi dengan tegas mengatakan tidak akan mundur melawan Uni Eropa di WTO.
Sikap tegas Jokowi soal kebijakannya melarang ekspor bijih nikel dan membangun hilirisasi nilai tambah, karena keuntungan yang didapatkan Indonesia dari ekspor bijih nikel yang tadinya hanya Rp17-an triliun, bisa melejit menjadi Rp450-an triliun.
Kembali lagi soal nominasi yang diberikan kepada Presiden Jokowi, sebagai rakyat Indonesia nominasi ini sangat melukai hati, karena fakta-fakta yang selama ini menunjukan Jokowi merupakan seorang pemimpin yang tegas terhadap para koruptor. Apalagi tingkat kepercayaan publik terhadap Jokowi sangat tinggi, di masa terakhir kepemimpinannya berada di atas 75 persen.
Fakta menunjukkan sepanjang 10 tahun Jokowi beragam kasus korupsi triliunan rupiah berhasil dibongkar. Kasus-kasur besar juga diungkapkan seperti BLBI, E-KTP, Asabri, Jiwasraya, proyek BTS 4G Kominfo dan juga terbaru kasus timah.
Bahkan 7 Menteri di masa Jokowi menjadi tersangka dalam kasus korupsi, ini menunjukkan tidak ada perlindungan apapun bagi pelaku korupsi di masa Jokowi dengan kata lain, siapa yang melakukan korupsi harus dihukum tanpa pandang bulu, meskipun itu adalah menterinya sendiri.
Kita tidak mengatakan bahwa Jokowi sudah sempurna dalam memimpin Indonesia selama 10 tahun ini, namun legacy yang ditinggalkan memberikan dampak besar bagi pembangunan negeri ini.
OCCRP harus dapat membuktikan secara hukum korupsi apa yang telah dilakukan oleh Jokowi, jika tidak, maka tak salah jika nominasi ini akan melahirkan banyak spekulasi, bisa saja kita beranggapan nominasi terhadap Jokowi ini terkesan seperti upaya asing untuk menjatuhkan nama baik Presiden Jokowi, dan juga terkesan sebagai upaya untuk memutuskan hubungan baik yang ada antara Presiden Prabowo dan Presiden
Jokowi.
Hal lain yang membuat keraguan besar terhadap nominasi finalis tokoh Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024 versi OCCRP ini adalah tidak masuknya pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang terhadap rakyat Palestina, padahal Pengadilan kriminal internasional (International Criminal Court/ICC) secara resmi telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap orang ini.