ASPEK.ID, JAKARTA – PT Krakatau Steel (Persero) Tbk mulai melakukan produksi perdana baja gulungan canai panas atau hot rolled coil (HRC) dari hasil produk pabrik peleburan baja terbaru, Blast Furnace.
Spesifikasi produksi baja perdana itu berupa lima buah baja yang di-rolling di HSM dengan ketebalan 4mm dan lebar 1.200mm serta panjang 11.600 mm dengan berat 22,9 ton untuk masing-masing HRC.
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim dalam keterangannya, Selasa (3/9/2019) mengatakan, hasil produk dari Blast Furnace yang berupa hot metal atau baja cair sebelumnya dibawa ke pabrik slab baja (Slab Steel Plant) milik perseroan untuk dilakukan pencetakan (casting) menjadi slab baja.
Pabrik slab baja ini dikatakan Silmy Karim juga berperan untuk mengatur komposisi kimia dari suatu produk baja sehingga memenuhi kualifikasi untuk penggunaan baja tertentu yang diinginkan. HRC yang diproduksi di fasilitas Hot Strip Mill (HSM) diklaim memiliki kualitas free good atau prime, sehingga memenuhi spesifikasi baja komersial.
“Dengan menggunakan input-an baja cair dari Blast Furnace, kami mampu menurunkan konsumsi penggunaan listrik dan elektroda. Konsumsi listrik bisa kami turunkan hingga sekitar 30%,”kata Silmy Karim.
Dijelaskan Silmy, penurunan konsumsi listrik terjadi karena pabrik slab baja menerima material sudah dalam bentuk baja cair panas, sehingga peleburan baja menjadi lebih sedikit. Energi untuk pemanasan hanya digunakan untuk mempersiapkan tungku yang sudah diisi besi sponge dan scrap (besi tua) untuk menerima baja cair panas dari blast furnace.

Silmy menambahkan, saat ini perseroan sedang melakukan evaluasi untuk menguji kehandalan dan efisiensi pengoperasian Blast Furnace. Dan dalam setiap penugasan, Silmy juga selalu mendorong penyelesaian masalah-masalah yang ada, terutama masalah yang telah lama berlarut-larut terjadi.
“Manajemen Krakatau Steel saat ini berkomitmen untuk menyelesaikan setiap proyek dan permasalahan perseroan yang saat ini dihadapi dan penyelesaian proyek Blast Furnace ini adalah bagian dari upaya yang dilakukan manajemen saat ini guna menyelesaikan proyek yang seharusnya sudah selesai,” ujar Silmy.
Produksi baja slab dan HRC yang bersumber dari Blast Furnace akan mendorong perseroan untuk menghasilkan produk high value added yang dimulai dari produksi di area hulu (Blast Furnace dan SSP). Hal ini juga ikut berdampak pada peningkatan daya saing Perseroan.
“Harapannya, produk baja kualitas perseroan dapat berkompetisi dengan baik, dengan catatan iklim tata niaga baja yang sehat dapat diciptakan di pasar dalam negeri,” pungkas Silmy Karim.
Sekadar diketahui PT Krakatau Steel adalah salah satu Badan Usaha milik Negara (BUMN) yang bergerak di sektor produksi baja dan berdiri secara resmi pada tahun 1970. Pada 10 November 2010, Krakatau Steel berhasil menjadi perusahaan terbuka dengan melaksanakan penawaran umum perdana (IPO) dan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia.
Laporan keuangan pada 2018 dilansir dari Katadata, Krakatau Steel tercatat memiliki liabilitas sebesar US$ 2,49 miliar atau sekitar Rp 35,1 triliun, naik 10,17% dari tahun sebelumnya yang sebesar US$ 2,26 miliar. Penyebab utamanya, kenaikan liabilitas jangka pendek. Liabilitas jangka pendek Krakatau Steel tercatat sebesar US$ 1,59 miliar, naik 16,91% dari tahun sebelumnya US$ 1,36 miliar.
Sedangkan liabilitas jangka panjang US$ 899,4 juta, lebih rendah 0,02% dibandingkan tahun sebelumnya US$ 899,6 juta. Krakatau Steel rugi bersih sebesar US$ 74,82 juta atau sekitar Rp 1,05 triliun pada 2018. Jumlah kerugian tersebut turun 8,47% dari tahun sebelumnya US$ 81,74 juta. Perbaikan ditopang oleh meningkatnya volume penjualan dan harga jual baja.