Oleh: Amir Faisal
(Founder The Atjeh Connection)
Satu tahun perjalanan pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming menjadi cermin tentang keberanian, eksperimentasi, dan pembelajaran nasional. Di tengah tekanan global, ketegangan politik, dan ekspektasi publik yang tinggi, pemerintah ini berusaha membangun fondasi baru, dari kesejahteraan dasar menuju kemandirian ekonomi.
Namun yang paling penting saat ini bukan menengok ke belakang atau mencari siapa yang salah. Indonesia sudah terlalu lama terjebak dalam perdebatan masa lalu. Hari ini, bangsa ini harus bergerak ke depan secara bersama, serentak, dan produktif.
Program Sosial sebagai Pondasi Produktif
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi simbol politik keberpihakan sosial. Lebih dari 31 juta anak kini menerima asupan gizi harian, sementara ribuan sentra produksi pangan tumbuh di desa-desa. Di sinilah pemerintah menunjukkan bahwa kebijakan sosial tidak harus menjadi beban, tetapi dapat menjadi lokomotif ekonomi lokal.
Ketika petani, nelayan, dan UMKM ikut dalam rantai pasok program gizi nasional, maka yang digerakkan bukan hanya perut anak sekolah, melainkan mesin ekonomi rakyat. Prinsip yang sama terlihat dalam program Sekolah Rakyat, upaya menyediakan pendidikan gratis yang tidak hanya mengajar, tapi juga melatih keterampilan produktif.
Ke depan, Sekolah Rakyat dapat menjadi basis pendidikan vokasi kreatif: tempat anak-anak muda belajar kuliner nusantara, seni pertunjukan, desain, dan kewirausahaan digital. Dari sekolah inilah lahir generasi yang tidak menunggu pekerjaan, tetapi menciptakannya.
Menyelesaikan Polemik, Membangun Ekosistem
Tidak ada pemerintahan yang tanpa kritik, dan tak ada pembangunan tanpa gesekan. Namun bangsa besar adalah bangsa yang menyelesaikan masalah, bukan membesarkan perbedaan.
Salah satu contoh nyata adalah polemik kereta cepat Jakarta–Bandung. Proyek ini sering menjadi bahan silang pendapat. Padahal, yang seharusnya kita lihat adalah peluang besar di baliknya, yaitu konektivitas yang menciptakan ekosistem percepatan ekonomi.
Kereta cepat bukan sekadar moda transportasi, tetapi katalis pertumbuhan kawasan. Kawasan industri baru tumbuh di Purwakarta dan Walini, sektor pariwisata Bandung meningkat, dan nilai tanah serta investasi di koridor selatan Jawa melonjak.
Langkah berikutnya mestinya bukan menghentikan perdebatan, tapi memperpanjang jalur hingga Surabaya, menghubungkan tiga megapolitan besar yakni Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Ketika jalur ini tersambung, produktivitas logistik, wisata, dan ekonomi antarwilayah akan meningkat tajam.
Bahkan, model serupa seharusnya bisa diterapkan di provinsi lain seperti di Sumatera Utara dengan Medan–Parapat, Sulawesi Selatan dengan Makassar–Parepare, atau Kalimantan Timur yang akan menjadi pusat pertumbuhan baru Ibu Kota Nusantara (IKN). Infrastruktur adalah syarat utama pemerataan ekonomi, bukan simbol proyek semata.
Diplomasi yang Produktif, Bukan Seremonial
Di panggung dunia, Presiden Prabowo telah membangun gaya diplomasi yang tegas namun humanis. Sikap aktif Indonesia dalam isu Gaza, keanggotaan BRICS, dan peran kemanusiaan regional menunjukkan bahwa diplomasi Indonesia tidak lagi sekadar moral, tetapi juga strategis.
Namun diplomasi tidak boleh berhenti di podium. Ia harus turun menjadi diplomasi ekonomi dan budaya, memperkuat perdagangan, pariwisata, dan ekspor kreatif. Indonesia harus berani menjadi tuan rumah global bagi nilai-nilai damai dan produktif, di mana investasi dan kemanusiaan berjalan beriringan.
Ekonomi Kreatif dan Pariwisata: Sumber Pembiayaan Baru Negara
Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi tanpa menambah beban pajak, Indonesia perlu memaksimalkan dua aset terbesarnya: alam dan kreativitas rakyatnya. Sektor pariwisata dan ekonomi kreatif adalah mesin masa depan, sekaligus sumber pembiayaan negara non-pajak yang berkelanjutan.
Pada semester pertama 2025, pendapatan devisa pariwisata Indonesia mencapai US$ 4,39 miliar, dengan potensi naik dua kali lipat pada 2026. Jika 5–10% dari nilai itu bisa dikonversi menjadi penerimaan non-pajak melalui sistem lisensi, digital pass, dan royalti, maka tambahan pemasukan negara bisa mencapai Rp 100 triliun per tahun.
Langkah strategis yang bisa ditempuh antara lain:
• Membangun sistem lisensi nasional bagi destinasi wisata unggulan dan produk budaya agar setiap kegiatan ekonomi kreatif memberi kontribusi langsung ke kas negara.
• Meluncurkan “Pass Wisata Nusantara” digital, integrasi tiket wisata, transportasi, dan event budaya dalam satu platform nasional.
• Mendorong wisata premium dan ekspor pengalaman seperti wellness tourism, ekowisata, dan cultural immersion yang menyasar wisatawan kelas dunia.
• Mendirikan Dana Abadi Pariwisata dan Kreatif, dibiayai dari royalti dan lisensi digital, untuk mendanai promosi budaya dan konservasi jangka panjang.
Dengan strategi ini, negara tidak hanya menunggu pajak, tetapi aktif menciptakan nilai ekonomi dari budaya, kreativitas, dan pariwisata.
Momentum Kolektif: Semua Harus Berhasil
Satu tahun pemerintahan ini harus menjadi titik balik, dari birokrasi menuju produktivitas. Dari perdebatan menuju kolaborasi. Dari konsumsi menuju kreativitas.
Tidak perlu lagi energi bangsa ini dihabiskan untuk menyalahkan masa lalu. Setiap pemerintahan adalah kelanjutan dari kerja sebelumnya. Yang terpenting sekarang adalah memastikan semua program, baik sosial, ekonomi, maupun infrastruktur berujung pada keberhasilan bersama.
MBG harus menjadi ekosistem pangan lokal. Sekolah Rakyat menjadi pabrik SDM kreatif. Kereta cepat menjadi nadi ekonomi kawasan. Dan pariwisata menjadi wajah baru ekonomi Indonesia yang ramah, mandiri, dan bernilai tinggi.
Menatap Masa Depan dengan Optimisme
Prabowo–Gibran telah membuka babak baru pemerintahan yang berani memadukan politik kesejahteraan dengan ekonomi produktif. Tugas selanjutnya adalah menjaga konsistensi, transparansi, dan keberlanjutan.
Bangsa ini tidak butuh hero baru, tapi sistem yang bekerja. Tidak butuh pujian, tapi hasil. Dan hasil itu hanya mungkin lahir bila pemerintah, pelaku usaha, masyarakat, dan daerah bergerak dalam irama yang sama: optimisme dan gotong royong.
Kini bukan saatnya menoleh ke belakang. Karena masa depan Indonesia sudah menunggu dan ia akan dimiliki oleh mereka yang mau bekerja, berinovasi, dan berjalan lebih cepat dari keretanya sendiri.