ASPEK.ID, JAKARTA – Menghadapi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun ini mirip dengan yang terjadi pada 2015. Tantangan utama yang dihadapi setiap tahun sama yaitu memadamkan karhutla di lahan gambut. Salah satu upaya yaitu mengembalikan gambut sesuai dengan kodratnya.
“Kembalikan gambut sebagaimana kodratnya yaitu basah, berair dan berawa,” kata Kepala BNPB Doni Monardo, Jakarta, Rabu (2/10/2019.
Doni menuturkan gambut memiliki hak asasi ekosistemnya sehingga karthula dapat dicegah atau dikurangi. Gambut yang sudah kering sangat sulit dipadamkan ketika sudah ada api. Karakter gambut yang bersifat kering dan memiliki kedalaman beragam bahkan hingga 30 meter tentu akan sulit dipadamkan oleh personel darat, pengemboman air bahkan dengan hujan buatan (TMC).
Gambut yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk merupakan batu bara muda. Oleh karena itu, apabila gambut ini kering, gambut yang bisa dikatakan sebagai bahan bakar akan tersulut dengan mudah.
Luas hutan dan lahan terbakar dari awal tahun hingga Agustus 2019 lalu mencapai 328.724 hektar. Karhutla didominasi oleh kebakaran di lahan mineral sejumlah 239.161 ha dan gambut 89.563 ha. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat bahwa luas karhutla terbesar terjadi di Nusa Tenggara Timur.
Doni menjelaskan bahwa kebakaran di wilayah itu berbeda dengan enam provinsi lainnya. Kebakaran di Sumatera Selatan (Sumsel), Jambi, Riau, Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Kalimantan Selatan (Kalsel) terjadi di lahan gambut yang sangat sulit dipadamkan dan memicu terjadinya asap.
Kepala BNPB menyampaikan apresiasi dan rasa terima kasih atas upaya jajarannya dalam penanggulangan karhutla yang masih terjadi; di sisi lain, ia juga mengapresiasi kepada semua pihak, seperti TNI, Polri, KLHK, BMKG, BPPT, Manggala Agni, BPBD, masyarakat dan sukarelawan yang turun ke lapangan dan berhadapan dengan api dan asap.
“Mereka yang memadamkan api adalah para penjuang kemanusiaan,” pungkas Doni.