ASPEK.ID, JAKARTA – Direktur Eksekutif The Jokowi Center Teuku Neta Firdaus mengecam keras penusukan terhadap sosok pejabat publik ini di Pandeglang, Banten, Kamis (10/10/19). Menurutnya, dari insiden ini, SOP pengamanan pejabat negara harus dievaluasi lagi agar tidak terulang lagi.
Ditambahnya, perlu menerapkan kembali UU Anti Subversi nomor 11/1963 yang dicabut melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999 dengan alasan aturan itu bertentangan dengan HAM.
Teuku Neta berharap bahwa dalam penanganan teroris seharusnya HAM bisa dikesampingkan. Dalam hal ini memang HAM diperlukan tapi memberikan batasan-batasan yang tidak menghalangi pencegahan dan penegakan hukum terhadap teroris dan jaringannya.
“Misalnya, penangkapan atas terduga teroris harus memenuhi minimal dua alat bukti yang cukup. Penegak hukum tidak bisa menangkap terduga teroris secara sewenang-wenang tanpa ada bukti yang kuat,” kata Teuku Neta, Jumat, (11/10/2019).
Terorisme merupakan tindakan yang sangat mematikan dan tertutup, membawa banyak korban jiwa, termasuk orang yang tidak bersalah. Terorisme adalah sebuah mazhab atau aliran kepercayaan melalui pemaksaan kehendak, guna menyuarakan pesannya. Melakukan tindakan ilegal yang menjurus kearah kekerasan, kebrutalan bahkan pembunuhan. Aksi tersebut dimulai dengan sistem konvensional hingga modern.
“Orang bisa terrekrut dengan mudah ketika diberikan rasa kebencian, awalnya saya seperti itu, diberikan rasa kebencian. Maka sangat mudah saat ini, zaman ini menjadi self recruited, terrekrut sendiri, yang di Sibolga mereka tidak pernah ketemu sama Amman Abdurrahman, tetapi bahan bacaan tulisan Amman Abdurrahman itu mereka pakai. Bagaimana belajar bomnya, dari internet, tetapi dipermahir dengan komunikasi, chating, diarahkan oleh orang-orang yang pernah di Syria, lewat media sosial. Ujung dunia di Syria bisa mengajarkan dalam negeri di Indonesia, bukan suatu hal yang mustahil sekarang,” ujar Teuku Neta.
Teuku Neta meminta polisi selayaknya dapat memproses warga yang menyebarkan kabar bahwa penusukan ini adalah hanya sandiwara, pengalihan isu dan sebagainya. “Stop sebarkan kabar bahwa penusukan Pak Wiranto adalah drama. Mari kita berempati, berdoa kepada Pak Wiranto agar cepat sembuh pasca 3 jam operasi serta berikan nilai-nilai kemanusiaan,” ajak Teuku Neta.
Teuku Neta mengingatkan dua pelaku ini terpapar paham radikalisme Jamaah Ansharul Daulah (JAD) yang berafiliansi pada NISS. Dia meminta polisi dapat memproses netizen yang menulis atau mem-posting perihal insiden ini adalah rekayasa ke ranah hukum. Warga diminta melapor akun-akun medsos yang menulis kata-kata yang sangat tidak pantas, misalnya mensyukuri Wiranto ditusuk.
“Jika ada konten atau komentar yang tidak pantas sebaiknya segera dilaporkan ke Divisi Humas Polri, Divisi Cyber Crime Mabes Polri dan Puspen Mabes TNI Cilangkap,” pinta Teuku Neta.
“Netizen perlu cek dan ricek sebelum mempublikasikan. Jika yang disebarkan adalah fitnah, maka polisi bisa selesaikan kasus itu di ruang pengadilan. Tujuannya biar ada efek jera dan yang lain-lain akan cermat sebelum menyebarkan. Teroris di medsos lebih berbahaya daripada teroris di lapangan,” pungkas Teuku Neta.