Terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan timah, Suwito Gunawan alias Awi, tidak terima dituntut 14 tahun penjara. Beneficial owner PT Stanindo Inti Perkasa (PT SIP) itu juga kecewa dituntut membayar uang pengganti senilai Rp 2,2 triliun.
Terdakwa kasus dugaan korupsi terkait pengelolaan timah, Suwito Gunawan alias Awi, menyatakan keberatan atas tuntutan 14 tahun penjara yang dijatuhkan kepadanya. Beneficial owner PT Stanindo Inti Perkasa (PT SIP) tersebut juga merasa tidak adil diminta membayar uang pengganti sebesar Rp 2,2 triliun.
Dalam nota pembelaan atau pleidoi pribadinya di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jalan Bungur Raya, Jakpus, Senin (16/12/2024). Ia mengatakan bahwa dirinya bukanlah koruptor dan ia meminta keadilan.
Suwito Gunawan juga membantah melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
“Mohon menjadi perhatian bagi Majelis Hakim yang Mulia, bahwa saya sebagai pengusaha asli putra daerah Bangka, bekerja dari tahun 1979 sampai 2024, selama 45 tahun, selalu bertekat bekerja dengan jujur dan beritikad baik. Terbukti dengan tidak adanya komplain atau teguran atas pekerjaan yang saya lakukan,” ujarnya seperti dikutip dari Detikcom.
Menurut Suwito, PT SIP mendapatkan kerja sama dengan PT Timah Tbk berdasarkan kelayakan peralatan dan perizinan yang memenuhi standar. Ia menyatakan PT SIP hanya menjalankan kontrak sesuai kesepakatan.
“PT SIP mendapatkan kontrak kerja dengan PT Timah Tbk bukan karena dari pihak lain. Itu karena peralatan dan perijinan kami miliki adalah memadai memenuhi persyaratan dengan hasil balok Timah standar LME. PT SIP tidak ada kerja sama apapun dalam melaksanakan pekerjaan dengan smelter lain, apalagi yang merugikan PT Timah Tbk. PT SIP telah melaksanakan pekerjaan dengan sesuai dengan yang tercantum dalam surat-surat perjanjian,” ujarnya.
Suwito juga mengklaim bahwa PT SIP tidak pernah diberi penjelasan terkait Undang-Undang Pertambangan selama kerja sama dengan PT Timah. Ia menyatakan perusahaannya hanya mengikuti aturan sesuai kontrak yang telah disepakati.
“PT SIP tidak mengetahui dan tidak dijelaskan aturan UU Pertambangan oleh PT Timah Tbk tersebut. IUP (ijin usaha pertambangan) PT SIP adalah IUP Laut. Pada waktu kerja sama dengan PT Timah Tbk tersebut, PT SIP tidak melakukan penambangan dan tidak melakukan pengespotan timah,” kata Suwito.
“Undangan meeting dengan PT Timah Tbk untuk perubahan harga harus SIP hadirin karena telah menerima kontrak pekerjaan tersebut. Bukan berarti PT SIP melakukan perbuatan korupsi,” imbuhnya.
Suwito menyebut tidak bisa menolak permintaan dana corporate social responsibility (CSR) yang diminta Terdakwa Harvey Moeis. Dia mengaku tidak terima dituntut 14 tahun penjara, denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 2,2 triliun dalam kasus ini.
“Sumbangan untuk kesejahteraan rakyat yang dikumpulkan Pak Harvey Moeis katanya sesuai inisiasi dari Kapolda Bangka pada waktu itu. Mau tidak mau, kami harus mengikuti, memberi dan tidak berani menolak atau melawan. Bukan berarti PT SIP melakukan perbuatan pidana korupsi. Maka saya sebagai terdakwa sangat kecewa dengan tuntutan yang terjadi,” tuturnya.
Suwito mengatakan upah yang diterima PT SIP hanya Rp 486 miliar. Dia mengaku tak pernah diminta klarifikasi oleh jaksa terkait penghitungan uang pengganti Rp 2,2 triliun yang dibebankan kepadanya dalam surat tuntutan.
“Saya didakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 2,2 triliun. Sedangkan untuk PT SIP sendiri hanya menerima upah sewa peralatan perleburan dan fasilitas smelter sebesar Rp 486 miliar saja. Di mana semua hasil balok Timah diterima oleh PT Timah, bukan PT SIP. Bahkan sampai dengan saat ini juga saya tidak pernah dimintakan klarifikasi dari pihak penuntut umum berkait penghitungan Rp 2,2 triliun tersebut,” kata Suwito.
“Demi keadilan, apabila memang saya diwajibkan untuk menanggung pengganti sebesar Rp 2,2 triliun, maka seluruh balok Timah yang saya sudah kirimkan melalui SIP kepada PT Timah, Tbk juga harus dikembalikan kepada saya. Karena terbukti PT Timah sendiri telah mendapatkan untung dari hasil ekspor yang dilakukan, di mana logam timahnya berasal dari SIP,” imbuhnya.
Suwito juga memohon agar majelis hakim mempertimbangkan penyitaan aset miliknya. Menurutnya, aset itu diperoleh jauh sebelum kerja sama dengan PT Timah dan ada aset milik istrinya yang disita padahal tak ada kaitannya dengan kerja sama ini.
“Hanya Tuhan yang bisa membantu saya melalui Majelis Hakim Yang Mulia. Untuk dapat menegakkan keadilan dalam memberikan keputusan bebas atau seiringan dengannya kepada saya, mengingat usia saya yang saat ini sudah unsur,” ujar Suwito sambil menangis.