ASPEK.ID, JAKARTA – Ekonom Indef Bhima Yudhistira menyatakan bahwa hasil kajian ditemukan dua kekeliruan besar dalam pembangunan jalan tol di Indonesia.
Kekeliruan besar yang pertama adalah, terletak pada tidak terintegrasinya pembangunan jalan tol dengan penurunan biaya logistik.
Menurut Bhima, biaya logistik hanya menurun kurang dari 2% atau menjadi 23,5% dari PDB. Hal ini diakui oleh Presiden Jokowi yang menegaskan, biaya logistik jalan tol di dalam negeri masih mahal, sekitar 24% dari PDB.
Kekeliruan besar yang kedua adalah integrasi jalan tol dengan kawasan industri yang dinilai tidak sejalan. Padahal, fungsi tol harusnya dominan untuk angkutan logistik di kawasan industri.
Dari sisi ekonomi, jalan tol yang dibangun itu akan mempermudah akses ke bandara, pelabuhan, destinasi wisata, hingga pusat-pusat pertumbuhan ekonomi.
“Tapi karena enggak nyambung dan biaya menjadi mahal akhirnya pelaku industri tidak optimal memakai jalan tol,” kata Bhima, Senin (10/5/2021).
Bhima mengomentari rencana tiga BUMN karya, yaitu PT Hutama Karya, PT Wijaya Karya Tbk, dan PT Waskita Karya, yang ingin menjual sejumlah ruas tolnya.
Dia mempertanyakan, apakah aset tol yang ditawarkan kepada pengusaha asing dan domestik untuk mencari keuntungan atau menutup kerugian perusahaan.
Selain itu, dia memperkirakan pembangunan per kilometer (Km) jalan tol Rp120 miliar- Rp150 miliar. Jika divestasi aset negara itu bertujuan menjaga cash flow perusahaan dan naiknya rasio utang terhadap ekuitas, maka kemungkinan besar nilai transaksi yang ditawarkan cukup rendah. Akibatnya, kontras antara biaya konstruksi dan transaksi.
“Padahal dulu saat membangun jalan tol biayanya Rp120-150 miliar per Km, sangat mahal. Nanti yang jadi titik kritisnya adalah mau dijual berapa? Apakah penjualan tol di tengah kondisi keuangan BUMN yang sedang bermasalah bisa mengembalikan modal saat membangun?,” pungkasnya.





















