Oleh Ilham Saputra [Mahasiswa pasca sarjana ilmu Politik Fisip UI/Anggota KPU Periode 2017-2022]
Partai politik merupakan salah satu pilar penting bagi negara Indonesia yang sedang menjalani fase demokratisasi. Seiring berjalan waktu kehadiran partai politik (parpol) di Indonesia dinilai belum bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Sebagai informasi, berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tentang Partai Politik, keberadaan parpol memiliki berbagai fungsi, seperti komunikasi politik, perekrutan politik, dan yang paling penting parpol harus bisa menjadi wadah untuk menyalurkan aspirasi rakyat.
Alih-alih menjalankan fungsinya dengan baik, selama ini kehadiran parpol kerap diidentikan sebagai sumber permasalahan bagi demokrasi itu sendiri. Terbaru, survei yang dilakukan oleh lembaga Indikator Politik pada tahun 2022 ini mengungkap bahwa parpol merupakan lembaga yang paling tidak dipercaya oleh masyarakat.
Keresahan masyarakat terhadap parpol mungkin beralasan, berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terungkap bahwa dari 891 koruptor yang dijerat lembaga anti rasuah tersebut, sebanyak 545 atau 61,17 persen adalah aktor politik. Mereka terdiri 69 anggota DPR, 169 anggota DPRD, 104 kepala daerah, jelas mayoritas dari mereka adalah kader dari partai politik itu sendiri.
Fakta-fakta tersebut seolah memberikan suatu pertanda bahwa ada yang salah dalam tubuh partai politik itu sendiri. Jika kita lihat secara mendalam permasalahan partai politik di Indonesia memang sangat kompleks. Mulai dari gagalnya partai tersebut mencetak kader yang berkualitas, hingga tidak berfungsinya peran dari parpol tersebut sebagai penyambung aspirasi masyarakat, beberapa hal yang menjadi faktor rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap parpol.
Pendanaan Parpol oleh Negara
Terkait hal ini, beberapa pihak meyakini akar dari permasalahan tersebut ada di hulu yaitu terkait sistem pendanaan partai politik itu sendiri. Hal ini setidaknya diungkap oleh studi yang dilakukan Hopkin (2004), yang memaparkan bahwa praktik pendanaan partai menjadi soal utama yang memicu gelombang korupsi di sejumlah negara.
Hal ini disebabkan, besarnya biaya operasional dari politik itu sendiri berbanding terbalik dari dana yang dimiliki oleh tiap parpol, imbasnya para aktor politik acap kali menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya untuk mengatasi hal tersebut. Parahnya, dalam konteks Indonesia beberapa parpol diketahui belum memiliki struktur pendanaan yang baik, alhasil secara sepenuhnya membebankan biaya operasional partainya kepada kadernya.
Memang, tesis dari Hopkin itu masih sangat mungkin diperdebatkan, apakah sesungguhnya akar dari segala permasalahan korupsi yang dilakukan oleh kader parpol itu sendiri merupakan imbas dari permasalahan pendanaan itu sendiri. Tetapi terlepas dari perdebatan itu sendiri sesungguhnya menarik untuk mengkaji tentang pembiayaan partai politik di Indonesia yang selama ini mungkin luput dibahas apalagi di tengah usulan kenaikan biaya dan bantuan parpol yang tengah dibicarakan akhir-akhir ini.
Lantas, jika dianggap memang benar salah satu akar dari segala permasalahan partai politik adalah soal pendanaan lalu bagaimana solusinya? Tentu jawaban paling pragmatis yang muncul adalah dengan memberikan bahkan menaikkan dana bantuan bagi parpol itu sendiri. Keresahan tersebut mungkin saja diamini pemerintah, pada Mei 2022 lalu pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengusulkan kenaikan dana bantuan bagi partai politik.
Terkait wacana ini, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar bahkan menjelaskan bahwa Kemendagri secara konsisten telah mengusulkan kenaikan dana banpol ini setiap tahun namun belum pernah dipenuhi. Ia mengatakan, desakan Kemendagri untuk menaikkan dana banpol bukan tanpa alasan, menurut Bahtiar hal ini telah sesuai dengan kajian yang dilakukan.
Dalam konteks Indonesia sendiri, penelitian yang dilakukan Faisal, Bariroh dan Didik Mulyanto (2018) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap kegiatan partai politik di Indonesia, pada dasarnya, dapat dibagi menjadi dua komponen besar. Kedua komponen tersebut adalah kegiatan operasional sehari-hari dan pendidikan politik (termasuk kampanye). Kegiatan-kegiatan partai ini menuntut pembiayaan yang cukup besar.
Hal ini menyebabkan partai menghadapi persoalan dalam mendanai setiap kegiatannya. Karena itu, partai harus mencari dan mendapatkan sumber-sumber pendanaannya. Sumber pendanaan konvensional, seperti iuran anggota, belum mampu menutup biaya kegiatan partai selama setahun. Akibatnya, partai mencari jalan-jalan lain untuk mendanai kegiatannya
Terkait hal ini, sesuai aturan yang berlaku, disebutkan sumber dana parpol ada tiga, yakni bantuan negara, iuran anggota, dan sumbangan pihak luar yang tidak mengikat. Pada kenyataannya, pendanaan dari tiga sumber itu tak mencukupi kebutuhan parpol.
Bantuan pembiayaan dana parpol dari negara misalnya, untuk saat ini dinilai sangat kecil. Sebagai informasi, besaran dana banpol saat ini ialah Rp 1.000 per suara sah merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018. Alokasi Rp 1.000 per suara sah ini dinilai sangat kecil dan dianggap bertolak belakang dengan narasi pemerintah untuk memperkuat sistem kepartaian di Indonesia.
Jika dialokasikan, dengan besaran tersebut PDI-P misalnya sebagai partai peraih suara terbanyak dalam Pemilu 2019 dengan raihan 27 juta suara lebih hanya memperoleh bantuan dana sebesar Rp 27 milliar/tahun.