ASPEK.ID, JAKARTA – Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terus menunjukkan komitmen mewujudkan pembangunan infrastruktur di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Hal itu demi mengurangi angka kemiskinan yang tinggi, mengurangi indeks kemahalan, dan pemerataan pembangunan infrastruktur.
Guna mendukung tekad itu, Kementerian PUPR mengambil langkah baru yakni pembangunan yang lebih terpadu, tepat sasaran, fokus, dan bersinergi dengan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
“Langkah ini sesuai dengan amanat Inpres nomor 9 tahun 2020,” ujar Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dilansir Indonesia.go.id dalam Workshop “Pengelolaan Dana Otonomi Khusus pada Provinsi Papua dan Papua Barat”, Selasa (30/3) lalu.
Inpres tentang percepatan pembangunan kesejahteraan di Papua dan Papua Barat itu menekankan, antara lain, bahwa pembangunan itu harus mengedepankan orang asli Papua (OAP), dengan segala adat dan budayanya, serta melestarikan alam Papua yang khas dengan segala sumber daya alamnya (SDA).
Pada tahun anggaran (TA) 2021, alokasi anggaran pembangunan infrastruktur PUPR untuk Provinsi Papua adalah Rp6,12 triliun. Alokasinya, antara lain, untuk bidang SDA Rp670 miliar, jalan-jembatan Rp4,46 triliun, pengembangan permukiman Rp650 miliar, dan perumahan Rp330 miliar.
Sementara itu, untuk Provinsi Papua Barat sebesar Rp3,67 triliun, yang digunakan pada bidang SDA Rp600 miliar, jalan dan jembatan Rp2,54 triliun, permukiman Rp320 miliar, dan perumahan Rp200 miliar.
Dikatakan pula oleh Menteri Basuki, guna mewujudkan infrastruktur yang andal, sekaligus yang bisa menjawab tantangan di lapangan, Kementerian PUPR berkomitmen melakukannya ke dalam empat program.
Pertama, pemerataan pembangunan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kedua, dukungan afirmatif untuk peningkatan sumber daya manusia (SDM). Ketiga, pelaksanaan program padat karya tunai (PKT). Keempat, pemenuhan kebutuhan dan pelayanan dasar dengan dukungan infrastruktur PUPR.
“Peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua dilakukan dengan membuka keterisolasian wilayah, dan meningkatkan akses serta konektivitas dari darat maupun multimoda. Di antaranya, telah kami bangun Jalan Trans Papua 3.534 km, jalan perbatasan Papua 1.098 km, serta Jembatan Youtefa 1,3 km di Kota Jayapura,” ujar Basuki.
Selanjutnya, untuk mendukung pengembangan kapasitas SDM, Kementerian PUPR melaksanakan pelatihan SDM jasa konstruksi yang melibatkan mitra kerja asli Papua dan Papua Barat.
Selain itu, Kementerian PUPR juga memberdayakan pelaku usaha lokal, dengan tender terbatas, untuk paket pekerjaan konstruksi harga perkiraan sendiri (HPS) antara Rp1–2,5 miliar.
Untuk pengembangan SDM internal Kementerian PUPR, di balai-balai teknis yang berada di Papua dan Papua Barat, langkah-langkah pendidikan dan latihan sudah dilaksanakan.
Kini, posisi di balai-balai teknis itu sudah diisi oleh putra daerah asli sebagai kepala balai, kepala satker (satuan kerja) maupun pejabat pembuat komitmen (PPK).
Program ketiga yakni menggencarkan pelaksanaan padat karya tunai demi mendistribusikan pendapatan di masyarakat Papua dalam rangka pemulihan ekonomi nasional akibat Pandemi Covid-19.
Pada TA 2021 terdapat peningkatan anggaran PKT dari tahun sebelumnya, yakni dari Rp671 miliar menjadi Rp731 miliar. Anggaran ini digunakan untuk 19 kegiatan yang dapat menyerap 27.967 tenaga kerja.
Program keempat, yakni menggenjot pemenuhan atas kebutuhan dan pelayanan dasar masyarakat, dengan dukungan infrastruktur bidang PUPR.
Antara lain berupa pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Terpadu di Skouw (Jayapura) dan Sota (Merauke), pembangunan infrastruktur dukungan penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX, serta pembangunan rumah khusus, air bersih, jalan lingkungan, serta jembatan gantung di Kabupaten Asmat, Mappi, dan Mamberamo Raya.
Kementerian PUPR berharap dengan komitmen yang berkesinambungan tersebut, pihaknya dapat turut memberikan solusi dan kontribusi nyata, sekaligus menjawab tantangan dalam memajukan masyarakat Papua.
“Kami akan betul-betul memperhatikan tata kelola dalam pelaksanaannya, agar tepat mutu, tepat sasaran, dan tepat administrasi,” imbuhnya.
Lintas Kementerian
Semua kementerian dan lembaga pemerintahan tentu mendukung pembangunan kesejahteraan di Bumi Papua itu.
Kini tercatat ada sekitar 450 ribu keluarga penerima manfaat (KPM) program rastra di Provinsi Papua dan 100 ribu KPM lannya di Papua Barat. Sebagian penerima bantuan beras sejahtera (rastra) itu ada di pedalaman.
Di banyak provinsi lain, bantuan rastra itu telah dikonversi menjadi kartu debit–disebut bantuan pangan nontunai–senilai 10 kg beras yang diterima tiap bulan.
Namun sesuai order pemerintah kabupaten (pemkab) di Papua dan Papua Barat, rastra tetap dibagikan dalam bentuk beras karena warga akan kesulitan membelanjakan uang elektronik.
Maka, dikerahkanlah personel TNI-Polri dengan segala peralatannya untuk mengangkut beras itu dari ke kantor distrik (kecamatan). Adapun, pembagian rastra dari kantor-kantor distrik ke warga menjadi tanggung jawab pemkab.
Konsekuensinya, Bulog harus mengangkut 20 ton beras per bulan lewat jalur udara untuk melayani warga Kabupaten Puncak, Papua. Meski jarak udara dari Bandara Timika ke Kota Illaga sekitar 100 km saja, biaya per kilogramnya lebih mahal dari harga beras.
Seperti provinsi lainnya, keluarga prasejahtera di Papua dan Papua Barat menerima berbagai bantuan sosial.
Ada rastra, Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan iuran BPJS (Kartu Indonesia Sehat), Kartu Indonesia Pintar (KIP), KIP kuliah, dan belakangan bantuan sosial terkait pandemi Covid-19 seperti bansos sembako Rp600 ribu, Kartu Prakerja, dan subsidi listrik.
Ribuan koli alat kesehatan, rapid test, sejumlah mesin PCR, reagen untuk mesin PCR, ventilator, pun diboyong di kawasan di timur Indonesia ini.
Otonomi Khusus
Dengan menyandang predikat daerah otonomi khusus, Papua dan Papua Barat masih memiliki hak-hak politik yang khas, yang tidak ada di tempat lain. Bupati, wali kota, dan gubernur di kedua provinsi itu harus putra asli Papua.
Sesuai dengan bunyi UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, yang diperbarui dengan UU nomor 35 tahun 2008. Bersama dengan Nanggroe Aceh Darussalam, kedua provinsi Papua itu berhak atas hak ekonomi pula.
Hak ekonomi, antara lain, dana otonomi khusus (otsus), yang besarnya 2 persen dari seluruh dana alokasi umum (DAU) APBN. Ada pula hak atas dana tambahan infrastruktur (DTI), yang berlaku 20 tahun.
Dana otsus yang bergulir sejak 2002 itu dimaksudkan untuk mengejar ketertinggalan, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan. Adapun DTI dimaksudkan untuk percepatan pengembangan infrastruktur daerah.
Pada 2019, dana pusat yang dialokasikan ke Papua dan Papua Barat mencapai Rp63,1 triliun. Sebanyak Rp46,8 triliun disalurkan sebagai transfer pusat ke daerah untuk kemudian didistribusikan ke pemprov (pemerintahan), pemkot, dan pemkab.
Di dalamnya ada Rp8,36 triliun dana otsus serta Rp4,3 triliun DTI. Sebanyak Rp15,1 triliun lainnya dikucurkan dari APBN sebagai program satuan kerja K/L.
Ada lagi dana desa. Seperti halnya di provinsi lain, desa-desa di Papua dan Papua Barat berhak atas dana desa itu. Secara umum, anggaran ini sering disebut dana transfer ke daerah.
Dana yang dialokasikan ke kedua provinsi di Papua itu mengalami kenaikan yang cukup luar biasa dalam beberapa tahun terakhir. Pada APBN 2014, transfer dari pusat ke Papua dan Papua Barat masih di Rp31,75 triliun dan menjadi Rp63,1 triliun pada 2019.
Dari jumlah itu, Rp45 triliun mengalir ke Papua dan Rp18,1 triliun ke Papua Barat. Adapun dari Rp8,36 triliun dana otsus 2019, sebanyak Rp4,4 triliun menjadi bagian dari belanja Provinsi Papua dan Rp3,96 triliun lainnya ke Papua Barat.
Dana otsus dan DTI untuk Papua dan Papua Barat juga terus bergerak naik. Bila pada 2014 dana otsus masih Rp6,8 triliun, kemudian menjadi Rp8 triliun pada 2017, dan Rp8,36 triliun di 2019. Untuk DTI Rp2,5 triliun di tahun 2014, lantas Rp3,5 triliun (2017), dan Rp4,3 triliun pada 2019.