Menkeu Sri Mulyani menerbitkan aturan baru terkait sanksi administratif bagi para eksportir nakal atau yang melanggar regulasi devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA).
Adapun aturan tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73 Tahun 2023 tentang Pengenaan dan Pencabutan Sanksi Administratif atas Pelanggaran Ketentuan DHE dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.
Aturan ini merupakan aturan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor yang diteken pada 12 Juli 2023, oleh Presiden Joko Widodo.
Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/2023 terdapat sejumlah sanksi yang akan dikenakan pemerintah kepada eksportir nakal yang ogah memarkirkan devisa hasil ekspor. Dalam hal tersebut, Kementerian Keuangan melalui Bea dan Cukai akan mengenakan sanksi penangguhan layanan ekspor berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Penangguhan pelayanan ekspor adalah pemblokiran terhadap akses yang diberikan kepada eksportir yang berhubungan dengan sistem pelayanan kepabeanan ekspor baik dengan menggunakan teknologi informasi maupun manual,” tulis Pasal 1 PMK 73/2023, dikutip Jumat (28/7/2023).
Lebih lanjut, Bank Indonesia memiliki peran untuk mengawasi kepatuhan eksportir terhadap kewajiban pemasukan devisa hasil ekspor sumber daya alam ke rekening khusus dan penempatan devisa hasil ekspor sumber daya alam dalam instrumen penempatan. Sementara OJK memiliki peran mengawasi kepatuhan eksportir dalam melaksanakan kewajiban pembuatan atau pemindahan escrow account.
“Ini menjadi dasar bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mengenakan sanksi administratif berupa Penangguhan Pelayanan Ekspor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan,” tulis aturan tersebut.
Adapun eksportir wajib memarkir devisa hasil ekspor sumber daya alam paling sedikit sebesar 30 persen dengan jangka waktu paling singkat selama tiga bulan. Devisa hasil ekspor sumber daya alam yang dimaksud berasal dari hasil barang ekspor pada sektor, pertambangan, perkebunan, kehutanan dan perikanan. Aturan ini berlaku bagi eksportir dengan nilai ekspor pada pemberitahuan pabean ekspor paling sedikit 250 ribu dolar AS mulai 1 Agustus 2023.
Pasal 2 PMK tersebut menjelaskan eksportir wajib memasukkan dan menempatkan devisa berupa devisa hasil ekspor sumber daya alam dari sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan, ke dalam sistem keuangan Indonesia dengan rekening khusus. Rekening tersebut harus tercakup dalam Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing.
Umumnya, devisa hasil ekspor sumber daya alam digunakan untuk pembayaran bea keluar dan pungutan lain bidang ekspor, pinjaman, impor, keuntungan/dividen, serta keperluan lain dari penanam modal. Dalam pasal 4, apabila pembayaran tersebut dilakukan menggunakan escrow account atau rekening bersama, eksportir wajib membuka akun tersebut pada LPEI maupun bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing.
Dalam aturan berisi delapan halaman tersebut juga disebutkan bila eksportir sudah memiliki escrow account di luar negeri, mereka wajib memindahkan ke instrumen keuangan Indonesia, seperti LPEI. Jika nantinya berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) eksportir tidak melakukan kewajiban tersebut, maka Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang akan melayangkan sanksi administratif.
Sanksi tersebut hanya akan dicabut jika eksportir telah melaksanakan penempatan devisa hasil ekspor sumber daya alam sesuai dengan aturan yang berlaku tersebut.
“Hasil pengawasan Bank Indonesia dan/atau OJK yang menunjukkan eksportir telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 menjadi dasar bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mencabut pengenaan sanksi administratif berupa Penangguhan Pelayanan Ekspor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan,” bunyi pasal 6 ayat (1).