OLEH: SERGIE AMIR
Ketua Gerakan Rasional Publik (GRP)
Pemerintah pada 26 Juli 2024 lalu, telah menerbitkan peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan berupa Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024.
Aturan ini menjadi sangat penting dan dibutuhkan untuk kemajuan Indonesia khususnya di bidang kesehatan.
Banyak poin-poin dalam UU Kesehatan ini akan memberikan dampak positif bagi kualitas pelayanan kesehatan, perlindungan masyarakat dan menjamin kepastian hukum.
UU Kesehatan ini juga mencakup lima pilar transformasi kesehatan nasional lainnya. Seperti kemudahan masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas, kemandirian dalam memproduksi ketersediaan farmasi seperti obat dan alat kesehatan dan mempersiapkan masyarakat menghadapi krisis kesehatan di masa kini dan nanti.
Selain itu UU Kesehatan ini juga mencakup hal dalam peningkatan efisiensi pembiayaan kesehatan, produksi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang berkualitas serta mewujudkan digitalisasi sistem kesehatan dan inovasi teknologi kesehatan.
Namun, yang masih menjadi sedikit problematika adalah soal aborsi dalam UU Kesehatan ini, yakni ketentuan teknis tentang “layanan aborsi aman” untuk korban pemerkosaan dan kekerasan seksual serta indikasi kedaruratan medis.
Di dalam UU tersebut memberikan dua alasan untuk dapat dilakukannya aborsi, yaitu indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
Alasan selanjutnya adalah kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban pemerkosaan.
Terkait aborsi ini masih melahirkan pro dan kontra. Sebagai negara yang menjadikan pancasila sebagai Ideologi sudah seharusnya persoalan aborsi menjadi hal mutlak untuk ditolak atau tidak diperbolehkan, kecuali memang dalam kondisi mengancam nyawa salah satunya.
Aborsi secara nyata sangat bertentangan dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan juga sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sebagai masyarakat yang dijamin untuk memeluk agama, maka bisa dikatakan hampir semua agama melarang tindak aborsi ini, karena bertentangan dengan fitrahnya manusia.
Prinsip-prinsip dasar semua agama secara esensial menentang aborsi, karena melanggar
martabat dan hak untuk hidup seluruh umat manusia
Seperti dalam agama Islam, berdasarkan pandangan Imam Al-Ghazali, bahwa menggugurkan kandungan adalah sebuah bentuk kejahatan terhadap maujud (makhluk) yang ada. Hanya saja tingkatannya berbeda-beda. Artinya, walau sperma baru masuk ke dalam rahim dan bercampur dengan sel telur (pembuahan), yang selanjutnya siap menerima kehidupan, maka merusaknya dianggap sebuah kejahatan.
Apalagi jika sudah berbentuk ‘alaqah atau mudhghah, maka kejahatannya dinilai lebih berat. Sedangkan menggugurkan kandungan dimana janin sudah bernyawa dan penciptaannya sudah sempurna, maka kejahatannya dinggap lebih berat lagi.
Dalam QS. al-An’am ayat 51, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”
Fatwa MUI juga pada dasarnya menyatakan aborsi adalah tindakan haram, meskipun memuat sejumlah pengecualian tertentu.
Dalam pandangan Kristen soal aborsi secara umum juga disebutkan sebagai sebuah tindakan yang salah secara moral.
Di dalam Alkitab menyatakan bahwa membunuh seseorang yang tidak bersalah secara sengaja adalah pelanggaran terhadap perintah keenam, yaitu “Jangan membunuh”. Gereja Katolik Roma percaya bahwa kehidupan dimulai sejak pembuahan, sehingga aborsi adalah tindakan yang salah secara moral.
Sementara dalam ajaran Hindu, aborsi dianggap sebagai perbuatan dosa yang disebut himsa karma, yang setara dengan membunuh, menyakiti, dan menyiksa. Namun, Hinduisme mengizinkan aborsi jika nyawa ibu dalam bahaya.
Di dalam agama Buddha yang mengajarkan empati dan belas kasihan terhadap semua makhluk hidup. Menurut ajaran agama Buddha, kehidupan manusia dipengaruhi oleh hukum sebab-akibat (kamma). Seseorang yang melakukan aborsi akan menghasilkan kamma yang berat, terutama jika aborsi dilakukan dengan niat jahat.
Bahkan pada 2003 dulu majelis-majelis lima agama yang diakui di Indonesia (Majelis Ulama Indonesia, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Konferensi Waligereja Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia, Perwakilan Umat Budha Indonesia), menyatakan sikap untuk menolak dengan tegas praktek aborsi dan upaya-upaya legalisasi aborsi.
Pernyataan ini diulang pada 13 Oktober 2009 berkaitan dengan disahkannya Undang-undang Kesehatan tahun 2009 pada 14 September 2009 yang mengizinkan dilakukannya aborsi pada kehamilan akibat perkosaan, cacat genetik berat dan /atau cacat bawaan sampai usia kehamilan 6 minggu.
Persoalan legalisasi aborsi tidak hanya tidak sesuai dengan sila pertama Pancasila, namun juga bertentangan dengan sila kedua yakni kemanusiaan yang adil dan beradab, karena aborsi merupakan perbuatan yang sangat tidak bermoral dan jauh dari perbuatan sebuah bangsa yang beradab dan merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi adab dan moral, sudah seharusnya kita harus mendukung ibu-ibu hamil dan mendukung anak-anak yang terlantar, bukan malah membunuh anak-anak tersebut.
Dalam kasus pemerkosaan, satu-satunya orang yang harus dihukum adalah orang yang melakukan tindakan pemerkosaan, bukan bayi yang tidak bersalah.
Dalam sistem moral apapun, kesalahan seseorang bukanlah kesalahan keturunannya, dan yang harus dihukum adalah orang yang bersalah, bukan keturunannya, seperti dalam asas legalitas dalam hukum pidana yang berbunyi nullum crimen sine culpa, yang menyatakan bahwa seseorang hanya dapat dihukum jika terbukti bersalah secara hukum.
Oleh karena itu persoalan legalisasi aborsi ini dengan beberapa persyaratan, harus dikaji ulang kembali, jangan sampai lahir asumsi bahwa kita sebagai bangsa yang beradab yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi bangsa malah menghalalkan praktek-praktek atau tindakkan yang tidak selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas.
Juga harus dipertanyakan logika yang ada dibelakang membolehkan aborsi jika janin memiliki kecacatan. Sebagai masyarakat yang beradab, bukanlah sudah tugas kita untuk mengayomi dan memberi bantuan kepada mereka yang kurang beruntung? Bukankah pembunuhan terhadap seseorang hanya karena orang tersebut dianggap sebagai orang yang “cacat” merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan fitrah manusia?
Dalam kasus di mana kehilangan janin adalah konsekuensi tak terhindarkan dari tindakan medis yang bertujuan menyelamatkan nyawa ibu, seperti pengobatan kanker yang tidak secara langsung menargetkan janin, tindakan ini dapat diterima berdasarkan prinsip kemanusiaan dalam Pancasila. Kehilangan tersebut bukanlah tujuan, tetapi dampak sampingan dari upaya melindungi kehidupan, yang sejalan dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab serta penghormatan terhadap hak hidup.
Aborsi hanyalah sebuah kata untuk memperhalus dari makna yang sebenarnya adalah membunuh.