Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menegaskan, tidak boleh ada satu calon presiden (Capres) yang berhak mengklaim dirinya didukung oleh umat di dalam kontenstasi pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
“Saya ingin menegaskan satu hal yang sangat prinsip, bahwa dalam konteks Pilpres kita saat ini, tidak ada satu Capres pun, siapa pun dia yang bisa mengklaim dirinya, bahwa dia adalah satu-satunya “Capres umat”,” kata Anis Matta dalam keterangannya, Selasa (12/9/2023).
Anis menilai apabila ada salah satu Capres yang mengaku didukung oleh umat, maka dipastikan akan menggunakan politik identitas dalam tema kampanye-kampanyenya.
Hal ini dikuatirkan akan menimbulkan polarisasi poltik dan pembelahan di masyarakat akan semakin dalam lagi. Sebab, akan menimbulkan dampak yang fatal seperti pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019.
“Jadi tidak boleh ada satupun Capres yang boleh mengklaim dirinya sebagai Capres umat. Ini yang perlu saya garis bawahi, karena kita akan menyaksikan orang akan kembali menggunakan politik identitas untuk melakukan kampanye besar-besaran. Padahal itu sebenarnya adalah satu penyederhanaan yang bisa punya dampak yang fatal seperti pada Pilpres sebelumnya,” ujar Anis.
Menurut Anis, umat sekarang ini yang justru harus memaksakan agendanya kepada para Capres— Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan— agar diperjuangkan. Bukan sebaliknya dimanfaatkan sebagai pendorong ‘mobil mogok’ oleh satu Capres seperti selama ini saat ada hajatan politik.
“Justru umat sekarang ini yang harus memaksakan agendanya kepada seluruh calon presiden agar memperjuangkan agenda umat Islam di Indonesia. Maka kita persilahkan semua capres memperjuangkan agenda umat,” tegas Anis Matta.
Dengan demikian, kata Ketua Umum Partai Gelora ini, tidak ada satu Capres yang mengklaim dirinya sebagai satu-satunya representasi umat Islam. “Semua Capres bisa memperjuangkan agenda umat,” tandasnya.
Anis Matta mengingatkan, bahwa dinamika politik saat ini mengalami perubahan yang cepat, dan terkadang tidak sesuai dengan yang direncanakan seperti yang terjadi dalam Pilpres 2009 lalu.
“Waktu itu, dua organisasi besar Islam di Indonesia jadi pucuk pimpinannya. Ketua MPR-nya Pak Amien Rais itu Muhammadiyah dan Presidennya Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) itu NU (Nahdatul Ulama), ditambah Ketua DPR-nya Pak Akbar Tanjung dari HMI. Itu dianggap mewakili seluruh umat, karena bisa memberikan manfaat ke publik yang terbesar, ” katanya.
Sebab, ketika berbicara tentang Indonesia, maka tidak bisa dilepaskan dari umat Islam. Sebab, umat Islam adalah mayoritas penduduk Indonesia. Sehingga ketika bicara Indonesia, maka juga berbicara tentang umat Islam secara keluruhan, dan bukan mewakili kelompok kecil
“Karena itu kita tunduk pada nilai dasar ini, yaitu manfaat publik. Karena orang yang duduk disitu tidak mewakili kelompok kecil, tapi semua. Maka bahaya sekali ketika mencalonkan seseorang yang menggunakan pendekatan sempit untuk membuat kampanye. Itu bahaya, karena kita akan mengalami benturan demi benturan, dan benturan akan terlalu banyak,” ungkapnya.