Majelis Adat Aceh (MAA) Perwakilan Jakarta mengadakan simposium dan rapat kerja pada Sabtu (15/7/2023) di Gedung Wisma Taman Iskandar Muda, Jakarta. Tema acara dalam simposium sehari ini adalah tentang peran dan upaya MAA Jakarta dalam mendukung penguatan budaya, adat serta adat istiadat Aceh.
Pengurus MAA Perwakilan Jakarta yang dipimpin Dr. Surya Darma, menyelenggarakan simposium debgan tema: ”MAA Jakarta – Peran dan Upaya dalam Mendukung Penguatan Budaya, Adab serta Adat Istiadat Aceh”. Simposium dihadiri oleh 100 an orang tokoh Aceh di Jakarta, tokoh Adat, Pengurus dan Pemangku Adat MAA Jakarta.
“Setelah Pengurus Majelis Adat Aceh (MAA) Perwakilan Jakarta Periode 2023 – 2028, dikukuhkan oleh Wali Nanggroe Aceh Teungku Malik Mahmud Al Haythar pada 18 Maret 2023 hari ini kami mengadakan Simposium dan rapat kerja yang pertama,” kata Ketua MAA Perwakilan Jakarta Dr Surya Darma MBA, Sabtu (15/7/2023) di Jakarta.
Surya menuturkan sebelum rapat kerja, diadakan simposium dengan mengundang 4 pembicara dari yaitu Wali Nanggroe Malik Mahmud Al Haythar, Ketua MAA Tgk Yusdedi, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Almuniza Kamal serta Dr. Surya Darma. Tgk Yusdedi selaku Ketua MAA Provinsi Aceh membahas sejarah hukum adat dan adat istiadat di Aceh, peran perempuan seperti Putro Phang, Laksamana Malahayati yang memimpin enam ribu kapal perang dan sebagainya.
“Materi yang dipaparkan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari seratusan peserta dan ini sangat berguna sebagai penguatan bagi Pengurus MAA Perwakilan Jakarta dalam menyusun rencana kerjanya,” kata Surya.
Surya menyimpulkan hasil simposium dan rapat kerja yang antara lain dihadiri oleh pengurus MAA Perwakilan Jakarta yakni Mustafa Abubakar. Farhan Hamid, Azwar Abubakar, Tarmizi A. Karim, Teuku Safli Didoh, Malik Raden, Pocut Haslinda, Muhammad Hasan Daling Gayo, Banta Ali dan sebagainya antara lain:.
Pelaksanan peusijuek sebagai adat, diyakini tidak bertentangan dengan agama sejauh tidak ada praaktik yang dimasukkan dari unsur-unsur yang bertentangan dengan agama. Hal ini perlu dibukukan dan diluruskan agar tidak terjadi perbedaan pemahaman di tengah masyarakat. Dalam pelestarian dan pemantapan adat, harus mengikuti sesuai nomenklatur sebagai berikut:
- Pembinaan adat seumapa, hadih maja, meunasik dan tarian tradisional.
- Pemantapan adat doda idi.
- Pemantapan adat istiadat.
- Pembinaan keluarga meuadab dan adat perkawinan.
- Pengadaan buku-buku adat istiadat Aceh.
- Publikasi adat istiadat.
Sementara itu, ada adat yang semakin hilang seperti praktik undangan dengan pola ketemu langsung menjadi undangan tertulis, dan sebagainya.
Sementara itu, pengembangan adat kerawang Gayo sudah menasional. Ini karena sosialisasi yang terus menerus dari masyarakat Gayo yang perlu ditularkan pada sektor lain. Dalam konteks hukum adat, sebagai hukum tidak tertulis, tetapi tetap berlaku selama didukung oleh masyarakat. Hal ini bisa diterapkan di semua wilayah yang ada orang Aceh. Penerapan hukum adat, akan efektif jika diikuti dengan sanksi adat. Hal ini akan berdampak pada adanya inisiatif menyelesaikan persoalan hukum secara adat, dan tidak diselesaikan langsung di pengadilan. Ada istirahat yang disebut
“peudame” perkelahian, melalui khanduri sie kameng di Meulasah, dilengkapi dengan bu lukat. Beberapa penerapan hukum adat seperti penjualan aset, maka pertama kali ditawarkan kepada keluarga terdekat, baru lingkaran yang lebih jauh, dst. Untuk keperluan ini dibutuhkan adanya penyuluhan adat ke berbagai lembaga dan organisasi Aceh.
Ada hal yang menarik di era digital saat ini adalah pemanfaatan media sosial untuk content adat budaya. Selain itu sangat diperlukan adanya pendidikan adat dan adat istiadat, termasuk ada pelatihan khusus soal adat ini oleh para pakar.
Untuk memberikan tempat terhormast, maka foto-foto pejuang Aceh perlu ada di satu ruangan seperti di Wisma TIM atau kantor BPPA di Jakarta. Untuk mendukung literasi anak-anak dan orang tua, diperlukan adanya perpustakaan kecil di Wisma TIM, selain penyimpanan alat identitas Aceh seperti tabing dan identitas Aceh di Jakarta, pelaminan, jas Aceh dan lain-lain.
Ada gagasan dan wacana, agar momen Haul Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah untuk menampung berbagai momen kegiatan. Perlu diupayakan terus mengusulkan pejuang Aceh menjadi pahlawan. Untuk hal ini perlu adanya kembali.
Seminar untul mendukung beberapa calon pahlawan Aceh untuk diajukan menjadi pahlawan seperti Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, Sultan Aceh terakhir dan sebagainya.
Untuk melestarikan adat dan budaya, perlu didukung penulisan buku “Adat Perkawinan Aceh”, “Kuliner Aceh”, dan lain-lain.
Kami juga berencana menerbitkan buku panduan adat perkawinan Aceh yg sangat beragam, Pelatihan peradilan adat kpd masyarakt Aceh diperantauan dan tata cara adat perkawinan (yang sudah masuk dalam usulan dari MAA Provinsi untuk MAA Jakarta)
MAA adalah suatu lembaga yang mempunyai tugas untuk melestarikan dan mengembangkan adat, seni dan budaya yang berada dalam provinsi Aceh.
Aceh merupakan daerah yang multi kultural sehingga dikenal memiliki kekayaan / keberagaman khazanah kebudayaan, kesenian dan adat istiadat.
Aceh memiliki 2 Lembaga Adat, yaitu Lembaga Wali Nanggroe dan Majelis Adat Aceh. Adat dan Adat Istiadat merupakan salah satu pilar Keistimewaan Aceh, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, dan Qanun nomor 10 tahun 2008 tentang Lembaga-lembaga Adat. Dengan demikian, Pemerintahan Aceh wajib melaksanakan pembangunan di bidang Adat dan Adat Istiadat.