ASPEK.ID, JAKARTA – Awal September lalu, masyarakat Sumatera Utara menggelar aksi demo menolak wacana wisata halal yang rencananya diterapkan di destinasi wisata Danau Toba. Rencana mendadak yang diungkapkan oleh Gubernur Sumatra Utara Edy Rahmayadi menjadi bumerang, karena masyarakat sangat reaktif menanggapi hal ini.
Hal ini dinilai terjadi karena pemerintah daerah lalai mengomunikasikan konsep wisata halal dengan cara dan waktu yang tepat.
Pengamat pariwisata Sapta Nirwandar mengatakan bahwa sebetulnya wisata halal sudah menjadi tren global. Tren ini terjadi karena peningkatan jumlah wisatawan muslim yang melakukan perjalanan wisata di dunia. Setidaknya 170 juta wisawatan muslim berkelana di berbagai destinasi wisata di dunia.
“Indonesia masih menggaet sedikit wisatawan mancanegara muslim yakni 3,6 juta orang, dibandingkan Thailand yang berhasil menggaet 6 juta orang, Malaysia 5 juta dan Singapura 4 juta orang,” jelasnya dilansir dari laman Sindonews, Minggu (8/9/2019).
Kekalahan pariwisata Indonesia untuk menarik wisman muslim terjadi karena kurang fasilitas yang ramah bagi wisatawan muslim.
“Kok kita sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar tidak menangkap peluang itu? Sementara negara-negara lain berhasil melakukannya?” katanya.
Dia menegaskan wisata halal bukan mengubah kawasan sesuai syariat Islam, melainkan destinasi tersebut memiliki fasilitas atau pelayanan yang ramah bagi wisatawan muslim.
“Halal tourism itu adalah extended services buat pelancong yang memerlukannya, jadi tendensinya bukan merujuk pada wisata yang eksklusif,” ujarnya.
Pelayanan dan fasilitas yang dimaksud misalnya kemudahan menemukan makanan halal, tempat shalat, hotel yang ramah, dan tempat rekreasi yang sesuai dengan kebutuhan pelancong.
Pemahaman tepat semacam ini yang seharusnya diluruskan oleh pemerintah terkait pariwisata halal, sehingga kejadian-kejadian penolakan tanpa dasar yang kuat tidak perlu terjadi. Salah kaprah dalam pemahaman masyarakat tentang wisata halal dapat memicu sensitivitas yang lebih tinggi.