ASPEK.ID, JAKARTA – Tunjangan Hari Raya (THR) pertama diberikan oleh Presiden Soekarno masa kabinet Soekiman Wirjosandjojo pada April 1951.
Pada mulanya, THR diberikan untuk meningkatkan kesejahteraan Pamong Pradja atau PNS. THR strategi politik untuk mendukung kabinet Soekiman. Pada mulanya besaran THR adalah Rp 125.000- Rp200.000.
Kebijakan THR menuai protes dari buruh karena mereka tidak mendapat THR. Buruh menuntut pemerintah memberikan hak serupa kepada para pekerja swasta sebagai bentuk kepedulian dalam menghadapi situasi ekonomi yang sedang sulit. Mengingat, menjelang lebaran kebutuhan pokok meroket.
Masa Ahem Erningpraja menjabat Menteri Perburuhan menerbitkan Peraturan Menteri Perburuhan no.1/1961 yang menyatakan THR adalah hak bagi buruh swasta.
Hingga kini THR menjadi hak seluruh kaum buruh dan pekerja yang ada di seluruh Indonesia.
Menurut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016, pengusaha yang tidak membayar THR Keagamaan dikenai sanksi administratif teguran, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, dan pembekuan kegiatan usaha.
Sejak itulah, THR yang ditunggu pada Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha atau Natal sesuai dengan agama PNS atau buruh.