Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan dan Penguatan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno mengungkapkan, ada sekitar 52 persen jaringan jalan rusak di Indonesia. Djoko juga mengungkapkan masih ada sejumlah daerah yang belum memiliki anggaran yang cukup untuk pembenaran fasilitas jalan yang rusak.
“Salah satu daerah dengan jalan rusak itu ada di Parung Panjang, jadi wajar kalau banyak masalah. Sementara daerah tersebut tidak punya banyak anggaran,” katanya, Senin (8/5/2023).
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira melihat, dampak ekonomi dari infrastruktur jalan yang rusak bukan persoalan yang sederhana.
“Pertama, bisa berpengaruh pada yang namanya incremental capital output ratio (ICOR). Jaman SBY, ICOR Indonesia itu di 4,2, sekarang di jaman Jokowi 6,2. Jadi artinya ada kenaikan inefficiency (ketidakefisienan) dalam investasi,” kata Bhima, Selasa (9/5/2023).
“Kenapa inefficiency ini terjadi, karena ICOR itu juga menghitung berapa banyak investasi yang dikeluarkan suatu perusahaan ketika membangun pabrik, dan ketika jalannya rusak, baik karena pembangunan, pertanian, maka akan ada tambahan biaya yang dibebankan kepada investor,” paparnya dikutip dari liputan6.
Semakin tinggi nilai ICOR, Bhima menjelaskan, semakin tinggi nilai ketidakefisienan untuk mendapatkan output yang dihasilkan, maka ini juga akan menurunkan daya saing Indonesia.
“Maka dari situ artinya logistic performance idex kita juga turun, ini ada pengaruhnya nanti kepada performa investasi,” jelasnya.
Bhima melanjutkan, infrastruktur jalan yang rusak juga bisa mempengaruhi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) suatu daerah.
“Maka bisa dicek apakah PMTB di daerah yang jalannya rusak, itu juga kecil, karena ada korelasi. Seseorang akan malas berinvestasi ketika infrastrukturnya tidak mensupport,” ucapnya.