ASPEK.ID, JAKARTA – Indonesia melarang ekspor nikel karena ingin meraih pendapat yang lebih tinggi. Jika RI ekspor nikel, maka memperoleh pendapatan US$ 600 juta hingga US$ 700 juta.
Sebaliknya, jika ada nilai tambah dan hiliirisasi dengan diolah di smelter, RI bisa ekspor stainless steel. Larangan ekspor nikel ini tidak ada kaitan dengan lobi-lobi dari investor smelter China seperti kabar yang beredar.
“Ini logika saja, saya ulangi, tak ada lobi-lobi,” kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan di acara Indonesia-Africa Infrastructure Dialogue (IAID) Nusa Dua, Bali, Rabu (21/8/2019).
Luhut meminta untuk menambah nilai tambah, perlu diolah di smelter, maka RI bisa ekspor stainless steel.
“Tahun lalu itu bisa US$ 5,8 miliar, tahun ini US$ 7,5 miliar. Tahun depan bisa US$ 12 miliar (setara Rp 170 triliun), ini akan terus bertambah dengan investasi. Tidak ada urusan lobi,” katanya.
Dia menambahkan larangan eskpor bijih nikel adalah amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara. Ekspor yang dilarang gradenya di bawah 1,7 sehingga bisa diekstrak menjadi cobalt. Ekstraknya itu, akan jadi bahan material baterai lithium.
“70% itu ada di Indonesia, jadi kita akan produksi lithium baterai terbesar dunia. Artinya, RI akan jadi global player karena nilai tambah. Jadi jangan sekarang karena dia ekspor dapat sedikit-sedikit, lantas dikorbankan satu planning besar,” pungkasnya.