ASPEK.ID, JAKARTA – PT Bakrie Darma Indonesia (BDI) sejak 31 Desember 2019 memiliki utang sebesar Rp 100 miliar ke pengelola gerai KFC, PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST).
Anak usaha Grup Bakrie dengan kode emiten BDI itu baru membayar Rp25 miliar.
Grup Bakrie punya rekam jejak panjang soal utang, dan membuat induknya, PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) menjual satu per satu aset bisnisnya.
Upaya ini semata-mata dilakukan demi menutupi utang jangka pendek yang sudah menggunung.
Analis pasar modal Lucky Bayu Purnomo mengatakan, beban utang denominasi dollar di Grup Bakrie bisa membahayakan, jika terjadi fluktuasi mata uang. Jika kondisi pasar makin tak stabil utang bisa makin menggunung.
“Ini yang perlu diwaspadai, karena utang dengan USD memang harus diturunkan, karena memang kinerja pasar selalu mempertimbangkan dua aspek yakni USD dan rupiah,” kata dia dalam keterangannya dilansir Kontan, Kamis (6/5/2021).
Kata dia, meski tak masalah emiten melakukan kesepakatan pakai USD, namun jika perhatikan emiten-emiten sekarang ini lebih memilih rupiah demi menghindari fluktuasi. Memang, dengan menggunakan USD tentunya lebih tinggi nominalnya.
Dia pun mengingatkan agar emiten di bawah Grup Bakrie yang tidak produktif, sebaiknya melakukan sejumlah langkah agar melakukan transformasi.
“Mau tidak mau emiten yang tidak perform, seperti lini selulernya yang saat ini memang kurang bagus, karena faktor lain perlu melakukan langkah-langkah agar kembali bergairah,” jelasnya.
Opsi yang bisa dipilih yaitu restrukturisasi internal guna mengurangi beban. Karena itu, langkah Grup Bakrie yang melakukan restrukturisasi secara internal, perlu diikuti oleh anak usaha lain.
Seperti halnya upaya yang dilakukan oleh emiten media Grup Bakrie, PT Visi Media Asia Tbk (VIVA) yang akan menjual 39% saham perusahaan di PT Intermedia Capital Tbk (MDIA), untuk menyelamatkan beban utang.
“Perlu restrukturisasi internal, karena sifatnya untuk menurunkan beban utang,” kata Lucky.
Meski begitu diakui Lucky, tak selamanya perusahaan tidak dalam kualitas kinerja yang buruk. Tetapi, setidaknya mereka harus berusaha menekan beban utang yang sudah mengkhawatirkan itu.
“Dengan kondisi saat ini emiten seharusnya lebih giat melakukan corporat action, dengan menekan budget dengan cara melakukan penjualan aset,” jelas dia.
Sebagai catatan, PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR), induk bisnis Grup Bakrie, mencatatkan utang hingga triwulan III 2020 senilai Rp 10,18 triliun, yang merupakan utang jangka pendek.
Saat ini perusahaan tengah memproses restrukturisasi utang senilai Rp 10 triliun yang ditargetkan selesai tahun depan agar memperbaiki pembukuan perusahaan.
Nilai utang tersebut mengalami kenaikan dibandingkan dengan posisi pada akhir tahun tahun lalu Rp 8,79 triliun.
Kenaikan utang tersebut, salah satunya disebabkan oleh selisih kurs yang membesar karena mayoritas utang Bakrie & Brothers dalam denominasi dolar Amerika Serikat.
Berdasarkan catatan Bakrie & Brothers, total utang dalam denominasi mata uang asing per September 2020, mencapai US$ 669 juta atau sekitar Rp 9,45 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.134 per US$. Sementara, utang perusahaan dengan denominasi rupiah totalnya Rp 254 miliar.