ASPEK.ID, JAKARTA – PT Krakatau Steel (Persero) Tbk mencatatatkan prestasi usai berhasil memecahkan rekor untuk produksi baja lembar panas atau hot rolled coil (HRC) mencapai 203.315,55 ton pada Oktober 2019.
PT Krakatau Steel merupakan salah satu Badan Usaha milik Negara (BUMN) yang bergerak di sektor produksi baja dan berdiri secara resmi pada tahun 1970. Pada 10 November 2010, Krakatau Steel berhasil menjadi perusahaan terbuka dengan melaksanakan penawaran umum perdana (IPO) dan melantai sahamnya di Bursa Efek Indonesia.
Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, Silmy Karim, dalam keterangan resminya mengatakan, rekor produksi HRC sebelumnya dicapai pada Desember 2017 mencapai 200 ribu ton.
“Capaian ini menunjukkan kalau proses transformasi dan restrukturisasi yang dijalankan telah membuahkan hasil,” kata Silmy Karim dilansir Antara, Minggu (3/11/2019).
Silmy Karim menjelaskan, hampir keseluruhan dari produksi merupakan baja yang sudah dipesan sehingga Krakatau Steel mampu menjaga stock inventory yang efisien.
Selain itu, hasil ini juga menunjukkan komitmen manajemen dan karyawan PT Krakatau Steel dalam rangka mendukung proses transformasi agar perusahaan sehat kembali.
Dalam hal pengembangan kapasitas, disebutkan Silmy bahwa PT Krakatau Steel saat ini tengah membangun Hot Strip Mill#2 yang pada kuartal IV 2019 nanti akan selesai mechanical completion-nya.
“Dengan beroperasinya HSM#2 maka kapasitas terpasang pabrik penghasil HRC di Indonesia sudah lebih besar daripada permintaan pasar, sehingga seluruh kebutuhan HRC dapat 100% dipasok dari dalam negeri. Tidak perlu impor karena kapasitas produksi HRC akan meningkat menjadi 3,9 juta ton per tahun dan selanjutnya dapat dikembangkan menjadi 6,4 juta ton per tahun,” jelasnya.
Silmy menyampaikan sejauh ini perseroan tidak memiliki masalah dalam hal produksi, masalah justru terjadi pada tata niaga dan impor baja nasional serta tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana menghentikan impor baja dan mewujudkan swasembada baja.
Industri baja nasional belakangan ini dikatakan Silmy menghadapi impor baja dengan cara circumvention (pengalihan HS code) sehingga tidak membayar bea masuk dan ini disebutkannya bisa mematikan industri baja nasional.
“Kami berharap agar Pemerintah melindungi investasi yang sudah masuk melalui kebijakan tata niaga dan ijin impor untuk meningkatkan utilisasi pabrik baja yang terintegrasi dari hulu hingga ke hilir”, pungkas Silmy Karim.