Perusahaan pengelola pelabuhan yang dimiliki negara dalam hal ini di bawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diharapkan menjadi perusahaan berkelas dunia.
Empat BUMN pelabuhan yang dimiliki Pemerintah Indonesia, yakni PT Pelindo I, PT Pelindo II, PT Pelindo III dan PT Pelindo IV. Keempatnya saat ini terpisah-pisah menjadi empat model berdasarkan regional
Integrasi BUMN Pelabuhan ini akan dilakukan dalam tiga fase utama yang berlangsung dari tahun ini sampai 2025. Fase-fase ini akan menghasilkan peningkatan kinerja bagi Pelindo.
Di fase pertama, terdapat business alignment and integration yang berlangsung di 2021—2022, kemudian fase ekspansi bisnis dan kemitraan di periode 2023—2024, serta fase integrasi ekosistem pelabuhan kelas dunia pada 2025.
Baca juga: Jelang Merger BUMN Pelabuhan, Pelindo IV Beberkan Model Bisnis Barunya
Pelindo Terintegrasi nanti akan terbagi menjadi empat subholding berdasarkan klaster bisnis yakni peti kemas, non peti kemas, logistik dan hinterland development, serta marine, equipment, dan port services.
Anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina meminta ada perubahan regulasi untuk mempermudah mewujudkan terbentuknya suatu badan usaha yang mumpuni dan mampu besanding dengan jenis usaha lain di negara-negara maju.
“Hingga saat ini, Selat Malaka menjadi salah satu jalur perdagangan internasional terpadat di dunia. Setiap tahun, jumlah kapal yang melintas di Selat Malaka lebih dari 100.000 kapal dengan mengangkut lebih dari 90 juta kontainer. Jangan sampai kita kalah dengan negara tetangga, mengingat Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di Selat Malaka yakni sekitar 600 mil,” tutur Nevi dalam siaran persnya, dikutip Jumat (20/8/2021).
Ia menjabarkan, berdasarkan data Lloyd’s List (2019), pelabuhan Singapura mampu melayani sekitar 37,2 juta kontainer, dan Malaysia dikisaran 22,6 juta kontainer, Thailand sebanyak 8,1 juta kontainer. Sedangkan Indonesia mampu menarik sekitar 10,5 juta kontainer.
“Mestinya negara kita yang unggul dalam mengelola pelayanan kontainer dari berbagai negara. Kenyataannya, kondisi memprihatinkan masih terjadi padahal jika dibandingkan, Singapura hanya memiliki garis pantai sepanjang 15 mil dan Malaysia 200 mil. Sedangkan Indonesia 600 mil, tapi belum mampu menarik minat kapal untuk bersandar dengan jumlah lebih besar,” sesal Nevi.
Kemudian, dia juga menyoroti akan tingginya biaya logistik di Indonesia. Antara lain, waktu yang dihabiskan kapal di pelabuhan Indonesia relatif lebih lama dibandingkan dengan negara lain.
Waktu yang digunakan untuk pengurusan ekspor dan impor di Indonesia baik dari sisi kepabeanan maupun dokumen, lebih lama jika dibandingkan dengan negara lain.
Di Indonesia, waktu yang dihabiskan untuk proses dokumen ekspor mencapai 138,8 jam dan untuk dokumen impor selama 164,4 jam. Sementara itu, di Malaysia dokumen ekspor diproses hanya selama 35 jam, dan dokumen impor selama 60 jam.
Legislator asal Sumatera Barat ini juga meminta, agar BUMN pelabuhan memiliki payung hukum yang mengakomodir penggunaan teknologi canggih.
Peningkatan efisiensi pelabuhan dengan pemanfaatan teknologi digital mesti dapat di realisasikan dengan memperkuat single windows.
“Negara kita mesti mampu membuat aturan yg terintegrasi antara perdagangan, beacukai, dan lembaga terkait lainnya sehinnga bisa mengurang waktu pengurusan administrasi dan bongkar muat kapal sehingga watunya tidak jauh berbeda dengan di negara tetanggga,” tambah dia.
“Sebelum melakukan merger BUMN Pelabuhan, selesaikan dahulu regulasi yang menghambat, dan bentuk regulasi baru yang mendukung berkembangnya BUMN Pelabuhan bersaing dengan negara-negara tetangga,” tutupnya.