ASPEK.ID, JAKARTA – Penyidik Sektor Jasa Keuangan OJK telah menetapkan Nurhasanah, Ketua Badan Perwakilan Anggota (BPA) periode 2018-2020 Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 sebagai tersangka.
Dia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan tidak melaksanakan atau tidak memenuhi Perintah Tertulis OJK terkait dengan implementasi ketentuan Pasal 38 Anggaran Dasar AJBB sesuai Surat KE IKNB Nomor S-13/D.05/2020 tanggal 16 April 2020.
Surat KE IKNB Nomor S-13/D.05/2020 berisi antara lain permintaan OJK bagi AJBB untuk melaksanakan pasal 38 Anggaran Dasar AJBB, yang harus dilaksanakan oleh organ Rapat Umum Anggota (RUA), Direksi dan Dewan Komisaris paling lambat tanggal 30 September 2020.
Kepala Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan OJK Tongam L Tobing menjelaskan dari hasil pemeriksaan para saksi dan bukti-bukti yang telah dikumpulkan, terbukti sampai dengan 30 September 2020 perintah tertulis OJK itu tidak dilaksanakan oleh AJBB.
Dalam keterangan resminya, Jumat (19/3), Tongam menyebutkan bahwa perbuatan tersangka telah mengakibatkan terhambatnya penyelesaian permasalahan yang dihadapi AJBB.
Untuk itu, penyidik menetapkan telah terjadi dugaan pelanggaran tindak pidana sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan/atau Pasal 54 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Penyidik juga telah melaksanakan Gelar Penetapan Tersangka pada 4 Maret 2021, dengan kesepakatan peserta gelar untuk menetapkan Nurhasanah sebagai tersangka.
Dalam wawancaranya kepada Bisnis, nada suara Nurhasanah cukup tinggi saat menjelaskan duduk perkara terkait penetapan dirinya sebagai tersangka oleh penyidik OJK.
Bahkan, Nurhasanah menyatakan tidak takut atas penetapan status tersebut dan akan ‘melawan balik’ sesuai proses hukum.
“Saya katakan, mungkin penetapan BPA atau saya sebagai tersangka, ini proses untuk saya membongkar semua yang terjadi di Bumiputera,” ujar Nurhasanah, Jumat (19/3) lalu.
Dia punya sejumlah alasan yang membuatnya yakin tidak bersalah. Beberapa poin yang dia soroti terkait proses uji materiil di Mahkamah Konstitusi, surat menyurat dengan OJK, hingga pembentukan pengelola statuter (PS) oleh OJK yang dinilai turut membuat kondisi Bumiputera seperti saat ini.
Pada 16 April 2020, otoritas mengirimkan surat KE IKNB Nomor S-13/D.05/2020 tentang perintah tertulis kepada BPA atau Rapat Umum Anggota (RUA).
Nurhasanah dan jajarannya harus melaksanakan Pasal 38 Anggaran Dasar (AD) Bumiputera, mengenai langkah perusahaan saat terjadi kerugian.
Menurut Nurhasanah, surat itu tiba saat BPA sedang melakukan uji materiil Undang-Undang 40/2014 tentang Perasuransian, yang berkaitan dengan Peraturan Pemerintah (PP) 87/2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dia meyakini bahwa proses hukum yang masih berlangsung di MK membuat implementasi perintah OJK tidak dapat langsung dilakukan. Setelah putusan MK terbit pada 14 Januari 2021, BPA pun seketika mengirimkan surat kepada OJK.
Nurhasanah menjelaskan dalam surat itu bahwa Bumiputera kembali kepada AD sebagai landasan hukum utama, hal itu kemudian berkaitan dengan pembentukan panitia pemilihan BPA.
Selain itu, BPA pun meminta pembahasan teknis implementasi Pasal 38 AD dan perlunya pengesahan rencana kerja anggaran tahunan [RKAT] dari manajemen.
“Setelah putusan MK 14 Januari 2021 saya berkomunkasi sama Pak Ris [Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK Riswinandi] melalui WhatsApp. Nah, Pak Ris bilang ‘oke Bu, kirim surat’, tapi sampai detik ini surat [BPA] tidak dibalas oleh OJK,” ujarnya.
Nurhasanah pun menilai OJK turut andil dalam munculnya outstanding claim di Bumiputera. Menurutnya, pengelola statuter bentukan OJK tidak efektif memperbaiki kondisi keuangan Bumiputera, bahkan dia menyebut langkah itu gagal total.
Setelah periode PS selesai dan pengelolaan kembali ke tangan Bumiputera, menurut Nurhasanah, OJK memberikan nama Sutikno Widodo Sjarief dan beberapa orang lain untuk menjadi direksi di Bumiputera.
Nurhasanah menilai mereka tidak bekerja dengan optimal sehingga BPA mencabut Sutikno cs dari jabatannya pada 2019.
“Dari diberhentikannya Pak Sutikno sampai sekarang, OJK tidak pernah menyetujui program dari Bumiputera,” ujarnya.
Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo mejelaskan bahwa kondisi yang ada terjadi karena tidak memadainya rencana penyehatan keuangan (RPK) buatan manajemen Bumiputera.
OJK pun meminta perusahaan itu untuk menerapkan ketetentuan AD dengan konsisten dalam hal terjadi kerugian.
Sesuai Pasal 38 AD, sidang luar biasa BPA/RUA harus mengambil keputusan dalam hal perusahaan mengalami kerugian yang tidak bisa ditutup dari cadangan.
“Keputusan yang harus diambil adalah apakah akan melanjutkan atau melikuidasi perusahaan. Dalam hal dilanjutkan, AD mengatur agar dilakukan pembagian kerugian secara prorata berdasarkan tata cara yang ditetapkan dalam sidang luar biasa,” kata dia.