ASPEK.ID – Biaya politik yang sangat tinggi dalam sebuah pesta demokrasi terutama Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia, sebenarnya bukan fakta baru yang harus diungkap ke publik.
Pengamat Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta dalam sebuah kesempatan pernah mengatakan bahwa biaya politik yang tinggi ini muncul karena rendahnya ikatan kontrak sosial calon kepala daerah dan pemilih.
Semestinya, calon kepala daerah harus membentuk kedekatan politik dengan konstituen. Dengan demikian, biaya politik yang tinggi dapat dipangkas dan tidak terlalu membebankan calon kepala daerah yang bertarung di Pilkada.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam rapat kerja dengan Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI pada November 2019 lalu pernah mengusulkan agar dilakukan evaluasi dan kajian secara mendalam tentang pelaksanaan Pilkada.
Mantan pimpinan tertinggi Polri ini menyebut bahwa, pelaksanaan pesta demokrasi di tingkat I dan II harus lebih baik, yakni ongkos politik yang ditanggung negara dan para kandidatnya bisa mengeluarkan biaya lebih murah dan meminimalisir potensi konflik di masyarakat.
“Untuk menjadi Gubernur, Bupati dan Walikota, biaya yang dikeluarkan saya kira sampai miliaran rupiah. Dan itu tidak bisa ditutup dari gaji dan pemasukan resmi lainnya. Tak heran jika banyak yang korupsi,” kata Tito Karnavian.
Lantas, seberapa besar biaya yang harus dirogoh oleh calon kepala daerah jika hendak maju di Pilkada?
Kisruh Pilkada Aceh
Beberapa hari terakhir, publik dipertontonkan gonjang-ganjing yang terjadi antara Pelaksana Tugas Gubernur Aceh, Nova Iriansyah dan mantan Tim Sukses Edi Saputra alias Edi Obama.
Seperti diketahui, pasangan Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah berhasil keluar sebagai pemenang dalam perhelatan Pilkada Aceh 2017 silam. Namun, Irwandi ditangkap oleh KPK pada Oktober 2018, atau selang 1,3 tahun menjabat sebagai Gubernur dan kemudian digantikan oleh wakilnya, Nova Iriansyah.
Edi sendiri sebenarnya bukan orang lain. Dia merupakan rekan separtai Nova dari Partai Demokrat. Namun, Edi dipecat setelah konflik ini pertama kali muncul ke permukaan dan menjadi santapan publik. Konflik ini bertema utang piutang Pilkada 2017 sebesar Rp 8 miliar.
DPP Partai Demokrat secara resmi memecat Edi dari kader partai dan Ketua DPC Partai Demokrat Bireuen. Dalam Surat Keputusan DPP Partai Demokrat Nomor 449/SK/DPP.PD/X/2018 disebutkan, Edi diberhentikan dengan tidak hormat. Surat itu ditandatangani oleh Ketua Umum Sosilo Bambang Yudhoyono dan Sekretaris Jenderal Hinca Panjaitan tanggal 5 Oktober 2018.
Sekretaris DPD Partai Demokrat Aceh, Iqbal Farabi dalam sebuah keterangannya kepada wartawan pada Sabtu (6/10/2018) malam seperti dilansir dari Serambinews menjelaskan, Edi dipecat karena dianggap telah melanggar AD/ART partai, peraturan organisasi, kode etik dan pakta integritas Partai Demokrat.
Sebelumnya pada 28 September 2018, Edi sempat mengunggah tulisan di laman Facebook yang menuding Nova telah menjegalnya untuk maju sebagai calon legislatif (caleg) DPR RI dengan alasan yang tidak jelas serta menyingung uang Pilkada 2017 sebesar Rp 8 miliar termasuk juga pinjaman pribadi Nova.
Babak Baru
Setahun lebih berselang kemudian atau tepatnya pada Senin (13/4/2020) kemarin, Edi kembali menyita perhatian publik. Dia bersama sejumlah rekannya mendatangi rumah dinas Wakil Gubernur Aceh di kawasan Blang Padang, Banda Aceh.
Edi mengaku hanya ingin bersilaturrahmi dan ingin menagih utang lama sebesar Rp 8 miliar. Namun, Nova membantahnya dan menyebut bahwa ‘aksi pendudukan’ tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan utang namun lebih kepada aksi anarkis, di tengah pandemi virus Corona saat ini.
Nova, dalam keterangannya kepada Waspada Aceh menyebut bahwa dia mempersilahkan kepada oknum-oknum tersebut untuk menggugat ke pengadilan.
Nova yang juga Ketua DPW Partai Demokrat Aceh, menduga ada agenda politik tertentu dengan maksud untuk menjatuhkan dirinya sebelum pelaksanaan Pilkada Aceh yang dijadwalkan berlangsung pada 2022 mendatang.
Edi lantas seakan mengiyakan pernyataan Nova. Edi menyebut bahwa dia akan secepatnya membawa permasalahan ini ke jalur hukum agar permasalahan ini diselesaikan secepatnya.
Well, menarik untuk ditunggu kelanjutan kisah ini.
***
Pun begitu, kejadian ini tentu bisa menjadi acuan bagi para calon kepala daerah yang akan bertarung. Semua butuh uang, apalagi di kancah perpolitikan setingkat Pilkada. Miliaran rupiah yang harus dikeluarkan, seperti yang dikatakan Tito Karnavian, tentu modal yang tak sedikit untuk maju Pilkada.
Dan jika sudah terpilih, tentu saja untuk mengembalikan modal yang telah lebih dulu dibakar membuat seorang kepala daerah harus memutar otaknya lebih dari seratus kali. Mungkin bisa dengan cara memonopoli proyek dan meraup keuntungan disana, atau mungkin saja dengan cara yang lebih instan, korupsi mungkin?
Redaksi





















