ASPEK.ID, JAKARTA – Data perusahaan perbankan UBS dan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyebutkan, di negara-negara maju seperti Amerika Serikat para pekerja rata-rata bekerja 38,6 jam per pekan.
AS dijadikan patokan pengukuran jam kerja per pekan karena dianggap salah satu yang paling produktif. Atas dasar inilah kedua lembaga ini merilis negara-negara dengan jumlah jam kerja paling panjang setiap pekannya.
Di daftar pertama negara dengan jumlah jam kerja terpanjang adalah Kolombia. Negara di Amerika Selatan itu, rata-rata jam kerjanya mencapi 47,7 jam per pekan. Kemudian, Turki (47 jam), Meksiko (45,1 jam) dan Kostarika (44,1 jam). (lihat info grafis). Lalu, apakah lamanya jam kerja berimbas pada produktivitas karyawan di negara-negara tersebut? Ternyata tidak.
UBS dan OECD menyatakan, jam kerja panjang tidak memiliki kaitan dengan produktivitas yang tinggi. Contohnya, Meksiko yang menjadi negara ketiga dengan rata-rata jam kerja 2.622 jam per tahun hanya meraup produk domestik bruto (PDB) USD18,8 per jam. Sementara Irlandia yang memiliki jam kerja 1.856 jam per tahun mampu meraup USD84 per jam.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja. Dikutip Business Insider studi UBS dan OECD bersama beberapa perguruan tinggi menyebutkan, jam kerja selama 45 jam per pekan dianggap sebagai porsi yang ideal. Namun, porsi ideal ini belum cukup mendukung produktivitas seseorang karena dipengaruhi efisiensi, dan unsur kebahagiaan karyawan.
Ini sejalan dengan studi Chartered Institute of Personnel and Development, yang menemukan bahwa satu dari empat karyawan di Inggris sedikitnya bekerja lembur selama 10 jam per pekan. Menurut studi itu, sebagian besar dari karyawan mengaku memegang terlalu banyak pekerjaan namun tidak memiliki waktu yang cukup untuk menyelasaikannya.
“Pemberi kerja masih beranggapan jam kerja panjang berhubungan dengan kinerja yang baik,” kata Profesor Gail Kinman, ahli psikologi kesehatan kerja dari Universitas Bedfordshire, dikutip The Guardian.
“Faktanya justru sebaliknya. Semakin lama orang bekerja, kinerja, konsentrasi, dan kreativitasnya justru menurun,” ujar Kinman.
Di negara-negara ASEAN, isu jam kerja karyawan juga menjadi perhatian tersendiri. Dalam sepekan terakhir, pelaku usaha yang bergerak di bisang industri perstektilan di Tanah Air mewacanakan penambahan jam kerja karyawan dari saat ini 40 jam pekan menjadi 45 hingga 48 jam per pekan. Di Vietnam, otoritas setempat akan mengurangi jam kerja karyawan dari 48 jam per pekan menjadi 44 per pekan.
Menanggapi isu jam kerja, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana menyatakan, lamanya jam kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap produktivitas kerja.
Menurut dia, rata-rata 40 jam kerja per pekan tidak hanya diterapkan di Indonesia tapi juga banyak dijalankan di luar negeri. Hanya saja, terkait urusan jam kerja lembur merupakan kebijakan perusahaan masing-masing.
“Saya kira kalau jam kerja tidak berpengaruh besar terhadap produktivitas. Peningkatan produktivitas kerja diukur berdasarkan peningkatan keterampilan kerja,” ujarmya, Minggu (22/9/2019).
Apindo akan mendorong peningkatan pelatihan keterampilan secara intensif bisa dilakukan melalui lembaga pendidikan maupun perusahaan. Pasalnya sebanyak 65% pekerja di industri padat karya tingkat pendidikannya rata-rata hanya setingkat SD dan SMP.
“Untuk itu perlu skill terus ditingkatkan jika kaitannya dengan produktivitas kerja karena mayoritas atau 65% berada di padat karya dengan jenjang pendidikan masih rendah,” katanya. (Sindonews)