ASPEK.ID, JAKARTA – PT Perkebunan Nusantara atau PTPN III (Persero) memiliki masalah yang sangat serius, apalagi kalau bukan masalah keuangan. Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor perkebunan ini ternyata sedang terlilit hutang yang sangat besar jumlahnya.
Menurut informasi yang diperoleh redaksi Aspek.id, berdasarkan salinan surat PTPN III kepada Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung RI pada 9 Juli 2019, PTPN III menyatakan bahwa hutang kepada pihak perbankan mencapai Rp 37,8 triliun per 31 Desember 2018.
Tumpukan hutang tersebut dijelaskan meliputi hutang kepada perbankan, vendor, Santunan Hari Tua (SHT) karyawan, dana pensiuan dan pihak ketiga lainnya. Celakanya, beban hutang tersebut tidak didukung oleh repayment capacity yang memadai.
Berdasarkan kajian restrukturisasi oleh Mandiri Sekuritas menggunakan pendekatan Interest Coverage Ratio (ICR) dan Debt Service Coverage Ratio (DSCR) pada 2018, jumlah hutang PTPN yang berpotensi tidak mampu diselesaikan teridentifikasi mencapai Rp 25,1 triliun.
Jumlah tersebut terdiri dari:
1. Rp 16,1 triliun hutang bank PTPN Unsustain di 5 PTPN yakni PTPN VII, PTPN VIII, PTPN IX, PTPN XII dan PTPN XIII. Berdasarkan parameter finansial, mereka dinilai tidak mampu membayar pokok dan bunga pinjaman.
2. Rp 9 triliun hutang bank PTPN Moderate yang ada di 5 PTPN yakni PTPN I, PTPN II, PTPN X, PTPN XI dan PTPN XIV. Berdasarkan parameter finansial, kelima PTPN tersebut dianggap mampu membayar bunga namun berpotensi gagal membayar pokok pinjaman.
Surat yang ditandatangani oleh Direktur SDM Umum PTPN III (Persero), Seger Budiarjo itu untuk meminta pendapat hukum mengenai langkah dan rencana yang akan dilakukan oleh perusahaan, agar tidak ‘salah dalam melangkah’.
PTPN III berencana menjual aset BUMN atau asset settllement dengan mekanisme novasi kredit dan jual putus. Novasi kredit yaitu mengalihkan sebagian tuang PTPN dari perbankan kepada pihak lain. Sedangkan mekanisme jual putus, yaitu penjualan aset milik PTPN untuk menyelesaikan kewajiban dalam hal ini hutang kepada pihak lain.
Dalam surat itu juga disebutkan bahwasanya pada Triwulan I-2019, PTPN membukukan rugi konsolidasi sebesar Rp 638,11 miliar dan hanya ada 3 PTPN yang berhasil membukukan laba yakni PTPN III, PTPN VI dan PTPN XIII.
Parahnya lagi, sebanyak 8 PTPN disebutkan berada dalam kondisi Over Debt Capacity atau mempunyai hutang diatas kemampuan ideal perusahaan. Mereka adalah PTPN I, PTPN VII, PTPN VIII, PTPN IX, PTPN XI, PTPN XII, PTPN XIII dan PTPN XIV.
Keadaan itu juga diperparah dengan kemampuan cash flow beberapa PTPN yang saat ini berada dalam kondisi yang kritis, sehingga mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban terhadap kreditur dan pihak ketiga.
Selain itu, sejak 2014 atau tahun dimana pembentukan holding BUMN perkebunan ini berdiri, PTPN telah memberikan bantuan pendanaan hampir kepada semua PTPN (kecuali PTPN IV, PTPN V dan PTPN VI) sebesar Rp 9,88 triliun per 31 Maret 2019.
Beberapa PTPN juga menghadapi permasalahan pelik lainnya yakni, permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) serta menghadapi gugatan di pengadilan yang diajukan oleh vendor terhadap PTPN I, PTPN II dan PTPN XIII.
Tanggungjawab Holding
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi dilansir dari laman Gatra mengatakan, pihaknya telah melakukan audit terhadap kondisi keuangan PTPN dan hasilnya, PTPN memiliki utang sebesar Rp 39 triliun per 31 Maret 2019.
“Itu menjadi gabungan seluruh PTPN. Menjadi beban Holding dan hal ini tidak dapat dipisah-pisahkan,” katanya beberapa waktu lalu.
Sementara itu menanggapi hal tersebut, Direktur Keuangan PTPN III, Mohammad Yudayat mengatakan bahwa pihaknya optimis akan mampu membayar semua utang-utang korporasi.
“Sejauh ini kita masih bisa serve kewajiban utang PTPN III Holding,” ujarnya.
Penjualan aset BUMN dikatakan Yudayat bukan satu-satunya opsi yang akan dijalankan oleh PTPN untuk membayar utang. PTPN disebutkan dia memiliki banyak opsi untuk melunasi kewajiban perusahaan.
“Harga rata-rata CPO masih rendah. Akibatnya, Earning Before Interest, Taxes, Depreciation and Amortization (Ebitda) tahun ini juga ikut anjlok,” jelasnya.
‘Curhat’ Petinggi PTPN
Pada Kamis (5/12/2019) lalu, Direktur Utama PTPN XIII Alexander Maha berbicara blak-blakan dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi IV DPR RI di kompleks DPR/MPR di Jakarta. Perusahaan yang dipimpinnya itu merupakan yang paling rugi statusnya.
“Dari 14 PTPN, PTPN XIII ini yang paling hancur. Ini statement saya, Pak. Dimana kerugian sampai Oktober tahun 2019 sebesar Rp 605 miliar,” kata Alexander dilansir laman Antara.
Dalam catatan kinerja operasional dan keuangan sejak 2016, PTPN XIII telah mengalami rugi yakni sebesar Rp 657,7 miliar (2016), kemudian pada 2017 rugi sebesar Rp 547,2 miliar, kemudian pada 2018 rugi sebesar Rp 884,2 miliar, dan hingga Oktober 2019 tercatat masih rugi sebesar Rp 605 miliar.
Selain itu, pendapatan perusahaan juga menurun signifikan dari Rp 2,47 triliun pada 2017 menjadi Rp 1,39 triliun pada 2018.
Menurut Alexander, PTPN XIII dapat dikatakan bangkrut, karena total ekuitas yang negatif mencapai Rp 2 triliun pada 2019. Sejumlah alasan yang menyebabkan perusahaan terus merugi, antara lain pembelian Tandan Buah Segar (TBS) dari perkebunan plasma.
Produktivitas TBS juga terlihat menurun karena lahan perkebunan kelapa sawit yang perlu diremajakan. Tercatat produksi TBS PTPN XIII pada 2017 sebesar 218.796 ton, kemudian anjlok pada 2018 sebesar 140.600 ton.
Sementara itu Direktur Utama PTPN I Uri Mulyari dalam kesempatan yang sama dengan gamblang mengatakan bahwa, pada 2019 ini dia bekerja untuk bank dan tahun 2020 malahan menjadi budak bank.
Perusahaan yang dipimpin Uri saat ini dikatakannya sedang mengalami likuiditas dan hingga Oktober 2019 PTPN I telah membukukan kerugian Rp 80 miliar.
Perusahaan pelat merah yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit dan karet yang mengelola empat kebun sawit dan dua kebun campuran di Provinsi Aceh ini harus membayar utang hingga 40% dari pendapatannya di 2019 dan bisa meningkat hingga 60% di 2020.
“Jadi, memang banyak tersedot untuk bayar cicilan ke bank,” kata Uri.
Itu baru dua PTPN, bagaimana dengan 12 PTPN lainnya? Termasuk induk dari holding BUMN bidang perkebunan ini sendiri yakni, PT Perkebunan Nusantara atau PTPN III (Persero).
Disuntik Tapi Rugi
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencatat kinerja keuangan 41 perusahaan penerima Penyertaan Modal Negara (PMN) pada 2015-2016, dimana ada 7 BUMN yang mengalami rugi.
Dari tujuh BUMN rugi itu sebagian besarnya adalah anggota dari PTPN. Ketujuh BUMN tersebut adalah PT Dok Perkapalan Surabaya, PT Dirgantara Indonesia, PT PAL, PTPN X, PTPN IX, PT PTPN VII dan PTPN III.
Pada 12 November 2019 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan tambahan modal sebesar Rp 6,1 triliun terhadap PT Perkebunan Nusantara III (Persero) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun.
Tambahan modal demi memperbaiki struktur permodalan PTPN III, dilansir dari laman CNN Indonesia diberikan dalam bentuk pengalihan barang milik negara di Kementerian Pertanian berupa tanah, rumah dan bangunan.
Mau Dileburkan
Rencana untuk mengurangi jumlah PT Perkebunan Nusantara atau PTPN dari jumlah saat ini sebanyak 14 menjadi 5 perusahaan saja sepertinya ide yang sangat menarik, tapi apakah ini menjadi sebuah solusi?
Pelaksana Tugas Direktur Utama PTPN III Holding Abdul Ghani mengatakan, PTPN III sebagai induk usaha tersebut menjelaskan efisiensi pada biaya operasional dan upaya untuk peningkatan produktivitas menjadi alasan di balik rencana perampingan perusahaan tersebut.
“Nantinya PTPN itu seperti arahan Pak Menteri (Erick Thohir) akan dikurangi. Kami sudah merencanakan ini dan mengusulkan menjadi lima (perusahaan),” kata Abdul Ghani dilansir laman Antara di Jakarta, Jum’at (6/12/2019).
Profil Singkat
PT Perkebunan Nusantara III (Persero) adalah Badan Usaha Milik Negara Indonesia yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit dan karet. Perusahaan ini berkantor pusat di Medan, Sumatra Utara dan resmi didirikan dari hasil restrukturisasi BUMN pada tahun 1996.
PT Perkebunan Nusantara III (Persero) pada tahun 2018 mempunyai karyawan sebanyak 115.618 orang yang terdiri dari 6.264 orang karyawan pimpinan dan 109.354 orang karyawan pelaksana.
Total luas areal yang dimiliki adalah 1.181.751,03 Ha dengan status pengusahaan lahan sekitar 68% sudah bersertifikat, 20% sertifikat berakhir/dalam proses perpanjangan dan 12% belum bersertifikat.
Sedangkan total planted area yang dimiliki PTPN sebesar 817.536 Hektar yang terdiri dari komoditi kelapa sawit, karet, teh, tebu, kopi, kakao, tembakau, kayu dan hortikultura. Selain itu guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar PTPN juga memiliki areal kebun plasma seluas 457.794 Hektar.
Perseroan saat ini menjadi pemegang saham mayoritas 13 perusahaan dari PTPN I sampai dengan PTPN XIV serta perusahaan di bidang pemasaran produk yaitu PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (PT KPBN) serta mengelola PT BIO Industri Nusantara (BIN) dan perusahaan di bidang riset serta pengembangan komoditas perkebunan yakni, PT Riset Perkebunan Nusantara (PT RPN).