Pemilik SPBU menjual stasiun pengisian bahan bakar umum ke pasaran, padahal bisnis ini dikenal memiliki keuntungan yang besar karena permintaan pasar yang pasti.
Pemilik menawarkan aset SPBU-nya dengan harga variatif, mulai dari puluhan miliar hingga ratusan miliar rupiah. Dilansir situs properti, rumah123, sebuah SPBU di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan yang dijual dengan harga Rp 30 miliar.
“Dijual SPBU Pertamina siap pakai kondisi bagus. Untuk pom bensin Cirendeu, Luas tanah ±1800m², Sertifikat SHM, tersedia Pertamax – Pertalite – Solar,” tulis penjual, dikutip dari cnbcindonesia, Sabtu (7/1/2023).
Salah satu SPBU di Kebon Jeruk pun juga turut dijual dengan harga yang lebih tinggi, yaitu Rp70 miliar. Berdasarkan informasi, luas bangunan SPBU adalah 200 m2, luas tanah 2143m, serta surat lengkap hak guna bangun. Adapun Legalitasnya izin berasal dari Pertamina, sertifikat tanah, dan SPPT PBB. Sementara itu, salah satu SPBU di Jalan TB Simatupang, Ciracas, Jakarta Timur dijual dengan harga ratusan miliar, yakni Rp 112 miliar. Adapun, SPBU ini masih aktif melayani banyak konsumen.
Selebihnya, ada banyak SPBU sejenis dijual di Jakarta, antara lain SPBU di kawasan Tanjung Priok Jakarta Utara yang dijual seharga Rp 35 miliar, SPBU di Duren Sawit dengan harga Rp30 miliar, dan masih banyak lainnya yang diposting OLX.
Sedangkan di Lamudi, penawaran SPBU yang dijual lebih banyak lagi, misalnya di Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta dengan SPBU yang dilego dengan harga Rp60 miliar.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas), Rachmad Muhamadiyah menjelaskan bahwa fenomena ini terjadi hanya karena faktor bisnis saja. Terlebih, saat pandemi lalu semua bisnis terkena imbasnya, termasuk SPBU sekaligus para pemiliknya.
“Itu karena bisnis saja mungkin, seperti faktor lokasi dan persaingan dengan adanya SPBU-SPBU yang baru lebih menarik,” kata Rachmad.
Rachmad mengatakan bahwa ada juga faktor pemilik SPBU memiliki bisnis lain, tapi bisnis lainnya belum bisa bangkit dari efek pandemi sehingga butuh cash flow atau dana segar dengan menjual SPBU. Hal itu dilakukan juga untuk kepentingan kewajiban ke perbankan atau yang lainnya.
“Dari informasi Pertamina, pengajuan baru masih terus bertambah, artinya SPBU masih ada peminatnya,” katanya.
Head of Advisory Services Colliers International Indonesia, Monica Koesnovagril mengungkapkan bahwa bisnis SPBU bukan berarti strategi yang paling cuan, khususnya dengan lokasi yang begitu strategis.
“SPBU sebenarnya supply dan demand. Banyak SPBU lokasinya di tengah kota yang harga tanahnya sudah mahal. Bicara Jakarta, KLB (Koefisien Lantai Bangunan) sudah pada naik, jadi secara konsep optimalisasi lahan akan lebih optimal untuk dibangun yang lebih high-rise,” ungkap Monica.
Bangunan high-rise, seperti apartemen atau perkantoran memang lebih banyak membutuhkan modal. Namun, perputaran uangnya bisa jadi lebih cepat mengingat strategisnya lokasi SPBU yang bersangkutan.
“Lebih ke supply-demand. Nanti harus dipertimbangkan lagi demand-nya ada enggak? Atau seberapa besar ini lahannya, banyak hal dipertimbangkan. Tapi kalau berdasar ‘oh, sekarang harganya sudah mahal, KLB sudah tinggi, jadi rasanya kok sayang cuma dipakai buat SPBU’,” kata Monica.