Kasus jual beli kulit Harimau Sumatera yang menjerat mantan Bupati Bener Meriah, Ahmadi, telah mendapatkan kepastian hukum dari Pengadilan Negeri (PN) Simpang Tiga Redelong, Bener Meriah.
Hal itu diperoleh usai sidang pembacaan putusan digelar pada Kamis (13/4/2023) lalu, setelah kasus tersebut berjalan kurang lebih 11 bulan lamanya. Majelis Hakim menjatuhkan vonis hukuman 1 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp100 juta subsidair 3 bulan kurungan terhadap Ahmadi.
Aktor lainnya dalam kasus ini yang tak lain adalah saudara kandung Ahmadi, yakni Suryadi juga dijatuhi vonis hukuman 1 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp100 juta subsidair 3 bulan kurungan.
Sedangkan satu terdakwa lainnya, Iskandar, telah lebih dulu menjalani persidangan seorang diri. Dia divonis hukuman 1 tahun 6 bulan penjara dan denda sebesar Rp100 juta subsidair 1 bulan penjara, November tahun lalu.
Tim operasi peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Wilayah Sumatera sebelumnya menangkap Ahmadi dan dua rekannya itu pada 23 Mei 2022 di SPBU Pondok Baru, Kab. Bener Meriah, Provinsi Aceh.
Dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) itu, petugas berhasil mengamankan barang bukti berupa satu lembar kulit Harimau Sumatera serta tulang belulangnya yang hendak dijual oleh para pelaku kepada petugas yang menyamar.
Kasus ini mendapatkan atensi yang besar dari publik, selain karena Harimau Sumatera adalah satwa liar yang dilindungi karena populasinya yang kian berkurang, juga karena sosok Ahmadi yang terlibat dalam kasus ini.
Diketahui, Ahmadi adalah Bupati Bener Meriah 2017-2018. Dia baru saja bebas dari penjara setelah ditangkap pada 3 Juli 2018 dalam kasus korupsi yang juga melibatkan Gubernur Aceh kala itu, Irwandi Yusuf.
Eks Ketua KPUD Bener Meriah 2 periode (2005-2008 dan 2008-2013) itu baru bebas dari Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat pada Juli 2021. Artinya, Ahmadi baru menghirup udara bebas kurang lebih selama 10 bulan sebelum kembali berurusan dengan hukum pada Mei 2022.
Dan yang paling menarik dari kasus ini adalah proses penanganan hukumnya yang terkesan lamban, jika dibandingkan dengan kasus kejahatan lingkungan lain terutama yang terjadi di Aceh.
Bahkan tak terkecuali, dengan kasus rekannya sendiri, Iskandar yang penanganan kasusnya dilakukan terpisah hingga selesai lebih dulu pada November tahun lalu. Selain itu, tuntutan serta vonis ketiga pelaku dalam kasus ini juga dianggap terlalu rendah.
Kronologi Penangkapan
SPBU Pondok Baru di Kabupaten Bener Meriah, Aceh, malam itu terlihat lengang seperti biasanya. Suhu dingin khas dataran tinggi menyelimuti kawasan yang terletak persis di kaki Gunung Burni Telong (2.624 mdpl) itu.
Sejumlah mobil terparkir di sana. Satu penumpang diantaranya, Anton (bukan nama sebenaranya) sibuk berbicara lewat telepon genggamnya dengan Iskandar, orang yang selama ini berkomunikasi serta menawarkan kulit Harimau untuk dijual.
Entah bagaimana ceritanya, calon pembeli yang dihubungi dan dijumpai Iskandar malam itu, justru pihak yang akan menyeretnya ke balik jeruji besi.
Setibanya di SPBU, Iskandar mengajak Anton ke Samarkilang untuk mengambil ‘barang antik’ (istilah kulit Harimau dalam percakapan Iskandar dengan Ahmadi menurut keterangan saat persidangan Iskandar di PN Simpang Tiga Redelong, 3 Oktober 2022).
“(Tim gabungan) Ikut semuanya. Dalam perjalanan ke Samarkilang, Anton gelisah karena merasa seperti ada mobil (mirip double cabin) yang mengikuti dari belakang. Karena takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, tim memutuskan balik ke SPBU,” kata salah satu sumber yang ikut dalam penangkapan waktu itu.
Setelah memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Samarkilang, Anton menghubungi Iskandar dan mengatakan bahwa transaksi batal dilakukan jika harus ke Samarkilang.
“Tim selanjutnya kembali ke SPBU, sembari menunggu informasi lanjutan dari Iskandar,” jelasnya.
Kemudian setelah menunggu hampir 2 jam, Iskandar tiba kembali di SPBU. Namun, dia tidak sendiri. Bersama Iskandar, turut serta Ahmadi dan Suryadi. Mobilnya juga sudah berganti.
“Saya waktu itu ke rumah Suryadi, lalu ke rumah Ahmadi dan mengajak mereka berdua untuk ikut. Kotak yang berisi kulit Harimau sudah kami pindahkan ke mobil Suryadi. Untuk transaksi, saya juga sudah kirimkan nomor rekening milik Ahmadi untuk Anton sebelum pertemuan di SPBU,” jelas Iskandar.
Singkat cerita, kedua belah pihak terlibat perbincangan singkat seperti transaksi pada umumnya. Harga yang disepakati berada di angka Rp150 juta. Setelah mendapat kepastian keberadaan kulit Harimau yang hendak dijual, penangkapan pun dilakukan saat itu juga.
“Ahmadi baru terlihat saat di SPBU Pondok Baru. Kita juga kaget dan tidak menyangka ada dia di sana (saat penangkapan), karena target sebelumnya adalah Iskandar” jelas sumber tadi.
Petugas lantas meringkus Ahmadi serta Suryadi. Dari rekaman video penangkapan terlihat Ahmadi sedikit melakukan perlawanan saat ditangkap. Subuh itu juga, tim gabungan pun bergegas bertolak menuju ke Banda Aceh dengan membawa Ahmadi dan Suryadi.
Sedangkan Iskandar berhasil kabur, dan menyerahkan diri ke polisi selang beberapa hari kemudian. Namun, justru Iskandar yang duluan menjalani persidangan seorang diri.
Beda Penanganan Kasus
Berselang 2 pekan pasca penangkapan, Ahmadi mengajukan permohonan praperadilan yang teregister dengan Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2022/PN Str ke PN Simpang Tiga Redelong, Bener Meriah. Namun, Majelis Hakim menolak permohonan tersebut.
Kemudian atas dasar alasan berkas perkara yang diajukan belum lengkap, Ahmadi dan Suryadi pun belum bisa disidang. Hanya Iskandar yang menjalani persidangan seorang diri. Dia mulai disidang pada 30 Agustus 2022.
Setelah menjalani beberapa kali persidangan, Iskandar dijatuhi vonis hukuman 1 tahun 6 bulan penjara dan denda sebesar Rp100 juta subsidair 1 bulan penjara, dalam sidang putusan yang digelar awal November tahun lalu.
Selang beberapa hari setelah Iskandar divonis, berkas perkara Ahmadi dan Suryadi pun baru dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh pada 9 November 2022.
Namun, meski telah menjadi tersangka sejak 9 bulan dan permohonan praperadilannya juga ditolak, hingga Februari 2023 perkara Ahmadi dan Suryadi urung sampai juga ke meja hijau.
Ahmadi dan Suryadi bahkan sempat dikeluarkan dari tahanan Polda Aceh pada 1 Agustus 2022, lantaran belum rampungnya berkas perkara dan masa penahahannya sebagaimana diatur di dalam KUHAP telah habis.
Jika dilihat dari sejumlah contoh kasus kejahatan lingkungan yang ditangani selama 2022 di sejumlah daerah di Aceh, proses penanganan kasus Ahmadi tergolong sangat lamban.
Seperti kasus kematian 3 ekor Harimau Sumatera akibat terkena jerat pemburu babi di Aceh Timur pada April 2022. Kasus ini ditangani pada Mei, mulai disidang pada Juli dan vonis pada September, kurang lebih selesai dalam 5 bulan.
Kemudian kasus kematian gajah akibat tersengat kabel listrik di Kutacane, Aceh Tenggara pada Mei 2022. Kasus itu ditangani sejak Mei, lalu mulai disidang pada Agustus dan vonis pada Oktober, kurang lebih selesai dalam waktu 6 bulan.
Lalu ada kasus penjualan sisik Trenggiling di Bener Meriah pada April 2022. Kasus ini disidang pada September dan vonis pada November, kurang lebih selesai dalam waktu 7 bulan.
Kasus Mangkrak di 2022
Penanganan hukum yang lamban dalam kasus yang menjerat Ahmadi beberapa kali sempat disuarakan oleh sejumlah aktivis lingkungan, termasuk Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh.
Dalam paparan konferensi pers publikasi hasil pemantauan penegakan hukum kasus perburuan dan perdagangan satwa liar di Aceh tahun 2022 yang digelar di Banda Aceh, Rabu (4/1/2023), FJL menyebutkan ada 13 kasus perdagangan dan kematian satwa lindung di Aceh selama 2022.
Departemen Advokasi dan Kampanye FJL Aceh mencatat, 13 kasus tersebut terdiri dari 5 kasus perdagangan satwa dan 7 kasus kematian dengan sebab dibunuh, dijerat dan sebab lainnya.
Dari 13 kasus tersebut, terdapat 12 perkara dengan 20 orang pelaku dimana ada 4 kasus yang belum tuntas dan salah satunya adalah kasus penjualan kulit Harimau yang menjerat Ahmadi Cs.
Kemudian ada kasus kematian gajah jantan akibat terkena jerat di Aceh Timur, kematian Orangutan karena digigit anjing di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Gayo Lues dan kematian gajah jantan akibat terkena kabel listrik di Aceh Tenggara.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Afifuddin Acal menyebut bahwa penegakan hukum terhadap kejahatan satwa liar dilindungi di Aceh terkesan masih tebang pilih.
Padahal kejahatan ini tidak bisa dianggap sebagai kejahatan biasa. Sebab prakteknya cukup terorganisir dan bersifat lintas batas, kerugian pun tidak hanya materil karena juga berdampak terhadap keseimbangan alam.
Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang melibatkan eks orang nomor satu di Bener Meriah yang hendak melakukan transaksi kulit Harimau pada 23 Mei 2022 lalu, menjadi titik balik penegakan hukum di Aceh yang patut dipertanyakan.
“Ini menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum kejahatan satwa lindung di Aceh. Apa lagi selama ini tidak ada satu aktor pun yang berhasil dibongkar,” kata Afifuddin.
Respon Balai Gakkum & Kejari Bener Meriah
Saat dihubungi pada pertengahan Januari 2023, Kepala Balai Gakkum KLHK Sumatera melalui Kasi Gakkum 1 Sumatera, Haloanto Ginting mengabarkan perkembangan kasus tersebut.
Haloanto menjelaskan bahwa berkas perkara kasus yang menjerat Ahmadi dan Suryadi memang sudah lengkap atau sudah tahap P21 sejak awal November 2022.
“Untuk kasus Ahmadi Cs akan segera kami lakukan tahap 2,” kata Haloanto.
Jika dilihat dari penjelasannya, tahap 2 adalah proses penyerahan tersangka dan barang bukti kepada kejaksaan setelah berkas perkara sudah dinyatakan lengkap atau P21. Proses yang akan dilakukan setelahnya adalah penyusunan dakwaan.
Setelah jaksa penuntut umum menerima hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, jaksa segera menentukan apakah berkas perkara itu dapat dilimpahkan ke pengadilan atau tidak.
Untuk mencari keterangan dan informasi lebih jauh, tanggapan dan respon dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Bener Meriah dalam hal ini sangat diperlukan.
Namun sayangnya, Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri (Kejari) Bener Meriah, Rudi Hermawan enggan berkomentar saat dimintai keterangannya terkait perkembangan kasus tersebut. Pesan WhatsApp yang dikirim berulangkali pun tidak mendapatkan balasan.
Kejari Bener Meriah akhirnya menerima pelimpahan Tahap II berkas Ahmadi dan Suryadi dari Balai Gakkum KLHK pada awal Februari 2023. Berkas tersebut dinyatakan telah lengkap.
Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, Ali Rasab Lubis SH, dalam keterangannya mengatakan bahwa tersangka Ahmadi, mantan bupati Bener Meriah sudah dilakukan tahap II.
Proses penyerahan tersangka dan barang bukti dari Balai Gakkum KLKH Sumatera ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Bener Meriah dilakukan pada Kamis, 2 Februari 2023.
“Tersangka sudah ditahan di Rutan Bener Meriah oleh Kejari Bener Meriah. Sementara itu untuk tersangka, Suryadi dilakukan tahap II di Kejari Bener Meriah,” jelas Kasi Penkum Kejati Aceh kala itu.
Tuntutan & Vonis Rendah
Koordinator Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh, Munandar mengatakan bahwa, mulai dari proses penanganan hingga penegakan hukum terhadap kasus ini sangat jauh dari kata menggembirakan.
“Tuntutan serta vonis yang dijatuhkan kepada ketiga pelaku kejahatan lingkungan ini sangat rendah, dan hal ini menjadi catatan buruk terhadap penegakan hukum dalam kasus kejahatan lingkungan,” kata Munandar, Minggu (30/4).
Bahkan, di awal kemunculan kasus tersebut sempat menemui ketidakjelasan. Para pegiat lingkungan yang tergabung dalam 12 lembaga di Aceh saat itu mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) segera menetapkan tersangka dalam kasus ini.
Munandar menyebutkan, kasus kejahatan lingkungan kesannya seperti kurang mendapat perhatian yang besar dari APH, khususnya jaksa serta hakim yang menangani kasus Ahmadi Cs.
Diketahui, JPU Kejari Bener Meriah menuntut Iskandar 2 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsidair 1 bulan kurungan. Lalu PN Simpang Tiga Redelong menjatuhkan vonis 1 tahun 6 bulan serta denda Rp100 juta subsidair 1 bulan penjara.
Untuk Ahmadi dan Suryadi, JPU Kejari Bener Meriah menuntut keduanya dengan pidana penjara 2 tahun 6 bulan serta denda Rp100 juta subsidair 3 bulan penjara. Majelis Hakim PN Simpang Tiga Redelong kemudian memvonis keduanya dengan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp100 juta subsidair 3 bulan penjara.
“Kita bisa melihat dengan jelas rendahnya tuntutan serta vonis terhadap ketiga pelaku meski kejahatan tersebut menurut kami merupakan kejahatan yang luar biasa. Namun, jaksa dan majelis hakim tentu punya pertimbangan tersendiri sehingga kita tetap menghormati keputusan tersebut baik itu tuntutan maupun vonisnya,” jelasnya.
Selain itu, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh, Ali Rasab Lubis SH, saat dimintai keterangannya mengatakan bahwa jaksa tidak melakukan banding terhadap vonis yang dianggap sangat rendah itu.
Dalam hukum, banding adalah salah satu jenis upaya hukum bagi terpidana atau jaksa penuntut umum untuk meminta pada pengadilan yang lebih tinggi agar melakukan pemeriksaan ulang atas putusan pengadilan negeri karena dianggap putusan tersebut jauh dari keadilan atau karena adanya kesalahan-kesalahan dalam pengambilan keputusan.
Upaya banding diberikan dengan tujuan untuk berjaga-jaga apabila hakim membuat kekeliruan atau kesalahan dalam mengambil keputusan. Namun, dalam kasus Ahmadi Cs ini yang vonisnya jauh lebih rendah dari tuntutan, JPU memilih untuk tidak melakukan banding.
“Seharusnya jaksa banding ya, karena vonis yang diberikan oleh majelis hakim lebih rendah dari tuntutan. Tapi, sekali lagi kita menghormati segala keputusan terutama vonis dari majelis hakim,” sebut Munandar.
Daerah Perdagangan Satwa Ilegal Tertinggi
Berdasarkan data yang dirilis oleh Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan (HAkA), Aceh Timur menjadi daerah dengan kasus perdagangan satwa ilegal tertinggi di Provinsi Aceh dalam kurun waktu 2018-2022.
Tercatat, 31 putusan yang berasal dari 12 pengadilan telah dijatuhkan dalam kasus perdagangan satwa dan 6 putusan tersebut berasal dari Pengadilan Negeri (PN) Idi, Aceh Timur.
Selanjutnya 4 putusan dari PN Kutacane, serta masing-masing 3 putusan dari PN Kualasimpang, PN Blangkejeren, PN Simpang Tiga Redelong, PN Meulaboh dan PN Jantho.
Lalu 2 putusan dari PN Calang serta masing-masing 1 putusan dari PN Tapaktuan, PN Lhoksukon, PN Takengon dan PN Blangpidie.
Jika dilihat dari jenisnya, Gajah Sumatera merupakan satwa yang paling sering diburu untuk diperdagangkan dengan 9 kasus (26,5 persen) dengan jumlah kematian 11 individu mati, disusul Harimau Sumatera dengan 8 kasus (23,5 persen) dengan jumlah kematian 11 individu.
Kemudian ada 5 kasus Trenggiling dan 5 kasus Beruang Madu (masing-masing 14,7 persen), 4 kasus Rangkong (11,8 persen) dan sisanya diisi oleh Orangutan Sumatera dan Belangkas Tapak Kuda.
Kulit, tubuh dan bagian tubuh satwa yang diperdagangkan tercatat memiliki porsi sebesar 83,9 persen serta 16,1 persen satwa lainnya diperdangkan dalam kondisi masih hidup.
Berdasarkan jenis pekerjaan pelaku, petani mendominasi dengan porsi 51,2 persen, wiraswasta 32,6 persen dan sisanya adalah nelayan, mahasiswa, perawat, buruh harian lepas dan pensiunan Polri. []
Zamzami Ali