Pertumbuhan ekonomi China sejak awal abad 21 diprediksi akan menyalip Amerika Serikat sebagai jawara ekonomi dunia dan hal ini berdampak pada peningkatan kesejahteraan secara menyeluruh di negara yang terkenal dengan julukan Negeri Tirai Bambu itu. Hal ini dapat dilihat dari lonjakan jumlah warga negara yang tergolong sebagai warga kelas menengah.
Berdasarkan data McKinsey & Company, pada tahun 2022 jumlah warga kelas menengah China diprediksi mencapai 76 persen dari total penduduk China, atau setara dengan 550 juta jiwa. Mereka yang digolongkan kelas menengah berpenghasilan sebesar 9.000 sampai 34.000 dollar per tahun. Angka ini terbilang fantastis, padahal di tahun 2000 hanya empat persen populasi urban di China yang masuk kategori kelas menengah.
Generasi warga kelas menengah di China sekarang punya tren dan gaya hidup yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Kelas menengah China saat ini cenderung berorientasi konsumsi. Mereka lebih banyak membelanjakan uangnya dalam kebutuhan gaya hidup sehari-hari. Hal ini merupakan fenomena yang juga dialami warga negara kelas menengah lain di negara-negara maju, khususnya bagi negara yang mengalami lonjakan ekonomi secara signifikan seperti yang pernah dialami Korea Selatan.
Salah satu dampak ekonomi dari fenomena ini adalah meningkatnya nilai impor perdagangan China untuk memenuhi kebutuhan kelas menengah di dalam negeri. Salah satunya adalah meningkatnya jumlah impor makanan dan minuman. Hal ini dipicu oleh kelas menengah yang mengalami tren konsumsi yang makin tinggi. Walhasil, produk makanan dan minuman impor yang dijual di kota-kota besar di China laris terjual.
Pada awalnya impor berbagai makanan asing adalah untuk memenuhi kebutuhan ekspatriat (warga negara asing) yang bekerja di China. Namun warga kelas menengah China sekarang juga tertarik dengan makanan impor dari luar negeri. Mereka cenderung menginginkan ketersediaan makanan yang lebih bervariasi dalam hal jenis makanan. Makanan asing yang mempunyai rasa yang eksotis pun menjadi begitu diminati.
Peluang Ekspor ke China
Fenomena yang terjadi di China ini perlu dimanfaatkan dengan jeli oleh Indonesia, khususnya dalam melirik peluang ekspor makanan ke China. Selama ini, neraca perdagangan antara Indonesia dan China lebih didominasi oleh impor produk-produk China ke Indonesia. Untuk menciptakan keseimbangan dalam neraca perdagangan antara Indonesia-China, pemerintah perlu menggalakkan pelaku usaha dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pasar di China.
Berdasarkan data statistik, total impor makanan China mencapai 58,28 miliar dolar di tahun 2017, naik 25 persen setiap tahun. Sementara tingkat pertumbuhan rata-rata tahunan selama lima tahun sebelumnya adalah 5,7 persen. Ini merupakan angka yang tergolong besar.
Sementara itu, jarak tempuh antara Indonesia dengan China yang cukup dekat serta beberapa jenis-jenis kerjasama yang telah terjalin antara kedua negara sebelumnya, sepatutnya memudahkan langkah Indonesia untuk bisa mendominasi pangsa pasar makanan di China
Uni Eropa selama ini tetap menjadi pemasok makanan terbesar bagi China. Diikuti oleh Amerika Serikat, Selandia Baru, Indonesia dan Kanada. Produk-produk seperti daging, minyak, susu, dan makanan laut adalah diantara jenis makanan impor yang paling populer di China.
Salah satu contoh peluang ekspor makanan ke Cina adalah buah-buahan. Beberapa tahun terakhir misalnya, impor buah Cina dari Amerika Latin mengalami peningkatan. Diantaranya adalah buah alpukat yang di impor dari Meksiko, Chili dan Peru. Pada tahun 2017 saja, impor alpukat mencapai angka 30.000 ton.
Sebagai negara dengan laut terluas, sektor yang paling berpeluang untuk digarap guna memenuhi kebutuhan pangsa pasar Cina tentu saja adalah ekspor makanan laut. Nilai impor makanan laut Cina mencapai angka 11,9 miliar dollar di tahun 2018, mengalami lonjakan sebesar 40 persen dari tahun sebelumnya.
Lonjakan Kebutuhan Pangan Dunia
Berdasarkan data World Economic Forum, di tahun 2050 diperkirakan penduduk dunia akan berjumlah 9,8 miliar jiwa. Kebutuhan terhadap pangan dunia akan melonjak ditaksir hingga 60 persen dari kebutuhan pangan yang ada sekarang.
Namun permasalahan kebutuhan pangan dunia ini juga diikuti oleh banyak masalah lainnya seperti perubahan iklim, urbanisasi dan makin sedikitnya jumlah lahan pertanian. Masalah pangan dunia sebenarnya adalah peluang bagi Indonesia yang masih memiliki ketersediaan lahan yang cukup.
Ironis apabila Indonesia tidak melihat kenyataan ini dengan melakukan upaya mensinergikan industri pangan dalam negeri dengan strategi perdagangan untuk menginvasi pangsa pasar luar negeri.
Kita tentu berharap pemerintah mampu menggenjot industri dalam negeri, baik pertanian, perikanan, maupun produk makanan olahan dalam upaya penyediaan kebutuhan pangsa pasar pangan di beberapa negara seperti China, maupun kebutuhan dunia secara umum.
Meski pemerintah sedang mengetengahkan wacana revolusi industri 4.0 yang berbasis hi-tech, bukan berarti kita mengabaikan peluang besar dalam sektor pangan. Bahkan kemajuan dalam teknologi informasi yang meningkatkan konektivitas dan interaksi global harus mampu menopang sektor industri pertanian dan perdagangan produk yang telah ada sebelumnya.
Jakarta, 29 Oktober 2019
Oleh: Jabal Ali Husin Sab
*Penulis adalah esais, pelaku wirausaha, pegiat di komunitas intelektual Menara Putih.