BERBICARA mengenai Qanun Aceh, tidak terlepas dari sejarah perjuangan para syuhada Aceh 45 tahun silam, yang fundamentalnya adalah keislaman. Hal tersebut juga tidak terlepas dari haluan pemikiran Muhammad Daud Beureueh yang berasaskan Islam untuk mempertahankan identitas Aceh.
Aspek tersebut bukan bermaksud menguak luka lama yang akan menimbulkan konflik baru, akan tetapi sebagai bahan pembelajaran dan muhasabah terhadap perjuangan, yang kini MoU Helsinki pada tahun 2005 yang telah berusia 16 tahun.
Pada fase saat ini, penulis merasa cukup penting untuk menerangkan kembali garis sejarah yang telah menjadi catatan penting untuk Aceh. Masyarakat Aceh pasti sudah paham bagaimana kedudukan Aceh di masa-masa kejayaannya dengan kerajaan-kerajaannya yang begitu besar.
Bahkan dalam sebuah catatan, Ibnu Battutah merupakan seorang penjelajah muslim dari Maroko menuliskan dirinya pernah singgah di Kerajaan Samudera Pasai di Aceh selama 15 hari pada tahun 1345 M. Ia menuliskan sebuah kesan terhadap Raja Samudera Pasai yaitu Sultan Muhammad Malik azh-Zhahir, merupakan penguasa yang paling mahsyur, terbuka, dan melindungi ahli-ahli agama. Ia sering terlibat dalam perang agama, maupun dalam misi penyerangan. Ia juga raja yang sangat shaleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Ibnu Battutah menggambarkan Samudera Pasai sebagai kota besar yang sangat indah, dengan dikelilingi dinding dan menara kayu. Perdagangan di daerah itu juga sangat maju, ditandai dengan penggunaan mata uang emas.
Catatan sejarah tersebut telah membuktikan begitu besar cinta para pemimpin Aceh terdahulu terhadap Islam, sehingga sampai hari ini prinsip tersebut menjadi warisan kepada para pemimpin Aceh dan masyarakatnya saat ini.
Perihal tersebut juga sangat serasi dengan ketentuan yang termaktub di dalam Nota Kesepahaman tersebut mengenai Penyelenggaraan Pemerintah Aceh, pada angka 1.1.6. menyatakan bahwa, “Qanun Aceh akan disusun kembali untuk Aceh dengan menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh serta mencerminkan kebutuhan hukum terkini Aceh”.
Aceh telah banyak melahirkan produk hukum yang berbentuk qanun yang bernuansa islami yang sifatnya fundamental dan marginnya berasaskan keislaman, dengan tujuan menjadikan Aceh sebagai daerah yang memiliki indentitas kekhususan.
Akan tetapi di akhir-akhir ini ada sebuah produk hukum Aceh yang sangat baik dan patut diapresiasi mengenai gagasan tersebut, yaitu Qanun Aceh No. 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS), yang tujuannya adalah mewujudkan ekonomi masyarakat Aceh yang adil dan sejahtera dalam naungan Syari’at Islam.
Namun perlu ditelusuri lebih lanjut terkait substansi Qanun tersebut ada hal yang sedikit menggelitik, yakni pada ketentuan umum Pasal 2 ayat (1) Qanun tentang LKS menyatakan bahwa “lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh berdasarkan Prinsiap Syari’ah”, selanjutnya pada Pasal 3 menyatakan bahwa LKS berasaskan Keadilan, Amanah, Persaudaraan, Keuangan, Transparansi, Kemandirian, Kerjasama, Kemudahan, Keterbukaan, Keberlanjutan dan Universal.
Tidak ada yang salah dalam Pasal 2 dan 3 ini, namun ada yang kurang mengenai asas, yang malah sangat urgent dan bisa menjadi berbeda jika dihilangkan, yakni “Keislaman”. Bukankah lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh harus berprinsip syari’ah, jadi seyogyanya prinsip syariah harus berasaskan keislaman.
Bahkan beberapa qanun jelas menyatakan tentang berasaskan keislaman, seperti Qanun No. 11 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, pada Pasal 2 huruf a menyatakan bahwa Penyelenggaraan Pendidikan di Aceh berasaskan Keislaman. Begitu juga dengan kandungan pada Pasal 2 huruf a Qanun No. 8 Tahun 2016 tentang Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) menyebutkan bahwa SJPH berasaskan keislaman, dan pada Pasal 2 huruf b baru menyatakan berasaskan keadilan.
Kata “asas” diformatkan sebagai “principle”. Asas hukum adalah aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak, pada umumnya yang melatarbelakangi peraturan konkrit dan pelaksanaan hukum. Menurut Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H., asas hukum adalah landasan utama dalam pembentukan hukum juga disebut titik tolak dalam pembentukan dan interpretasi undang-undang tersebut. Asas hukum merupakan unsur yang sangat penting dalam pembentukan peraturan hukum.
Berdasarkan pendapat tersebut, jelas bahwa asas sangatlah penting karena menjadi titik tolak dalam pembentukan hukum dan interprestasi dari Qanun LKS, oleh karenanya juga sangat penting menjadikan Qanun LKS berasaskan keislaman karena akan sangat berpengaruh dalam keberlanjutan dan implentasi qanun tersebut.
Apalagi dalam konsiderans Qanun LKS ini menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pertimbangannya. Kata keislaman harus tertera jelas dalam qanun tersebut sehingga tidak melahirkan multitafsir yang berakibat qanun ini kehilangan “rohnya”.
Kemudian, pertanyaan paling mendasar, apakah Qanun LKS benar-benar merujuk pada Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), dan bagaimana dengan status hukum formilnya ? Mengingat lahirnya KHES sebagai respon akan lahirnya UU No.3 tahun 2006 terkait dengan perubahan atas UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama terkait dengan perluasan wewenang peradilan agama termasuk dalam membentuk penyelesaian hukum di bidang Ekonomi Syariah. Selain itu, terbentuknya KHES merupakan formulasi hukum fiqh muamalah dalam sistem peradilan di Indonesia yakni dengan adanya PERMA No.2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
Seiring dengan pemberlakuan wajib berbasis syari’ah pada seluruh lembaga keuangan baik perbankan maupun non-perbankan yang ada di Aceh, tentunya terdapat begitu banyak perikatan (aqad) yang terjadi disana yang juga berdasarkan prinsip syari’ah. Pastinya akan terjadi ketimpangan saat terjadi permasalahan-permasalahan hukum dibidang ekonomi syari’ah, namun belum adanya payung hukum berupa hukum formil (Qanun tentang Hukum Acara Ekonomi Syari’ah).
Kedepannya akan lahir permasalahan-permasalahan baru yang lebih rumit, seperti halnya permasalahan terkait dengan taflis (Kepailitan Syari’ah) walau sampai saat ini kewenaganan penyelesaian terkait taflis masih diperjuangkan agar menjadi kompetensi absolut Peradilan Agama, Jangan sampai dalam penegakan hukum ekonomi syari’ah secara umum terjadi ketidakpastian hukum. Kemudian, di dalam Qanun LKS, hanya memuat sanksi administrasi saja, hemat penulis, disamping adanya unsur sanksi keperdataan juga diperlukan adanya unsur sanksi pidana mengenai kategori kejahatan ekonomi syari’ah dan/atau lembaga syari’ah.
Sudah saatnya Pemerintah Aceh lebih serius dan fokus dalam membentuk dan mengelola produk hukum di Aceh, sesuai arah dan tujuan Aceh terdahulu dengan sekarang dapat sinkron dan berjalan dengan harmonis dan khitmad, jangan sampai luput dari jati diri dan identitas Aceh yang pernah berjaya, terkikis dan pudar dengan sendirinya tanpa pernah kita sadari bersama.
Oleh karena itu, sebagai masyarakat Aceh khususnya dan Indonesia umumnya, tentu akan sangat bangga dan bermanfaat dengan hadirnya Qanun LKS, tentunya masih membutuhkan waktu agar gagasan tersebut dapat menyamakan persepsi sesuai harapan.
Tentunya, inovasi dan regulasi Qanun LKS yang begitu dini juga membutuhkan ruang kepercayaan dan kesempatan, serta dorongan dari berbagai elemen, baik itu pemerintah dan masyarakat itu sendiri, agar Qanun LKS dapat berkembang menjadi lebih baik sesuai dengan asas-asas keislaman. Sehingga menjadi penting untuk menyempurnakan keberadaan produk Qanun LKS ini dengan melahirkan hukum formil (Qanun tentang Hukum Acara Ekonomi Syari’ah).
Oleh: Muhammad Salda, S.Sy., M.H
Penulis merupakan Dosen di Fakultas Hukum Universitas Abulyatama Aceh dan Kabid Ormawa Biro Kemahasisswaan, Alumni dan Kerjasama (KAK) Universita Abulyatama.