Mahkamah Syar’iyah Aceh perlu memperisiapkan diri setelah terbitnya Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syari’ah, berdasarkan kewenanganya Pasal 49 huruf i dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Selain kewenangannya yang lama, terdapat kewenangan baru yaitu Ekonomi Syari’ah, yang ruang lingkupnya berupa perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah.
Kewenangan baru tersebut membuat Mahkamah Syari’ah akan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sejumlah perkara yang meliputi:
a. bank syari’ah;
b. lembaga keuangan mikro syari’ah;
c. asuransi syari’ah;
d. reasuransi syari’ah;
e. reksa dana syari’ah;
f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g. sekuritas syari’ah;
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
k. bisnis syari’ah.
Dalam hal ini, yang menjadi pertanyaan besar adalah, bagaimana kemampuan dan kesiapan Mahkamah Syar’iyah dalam menghadapi persoalan penyelesaian sengketa ekonomi syar’iah di Aceh, khususnya pada kepailitan syari’ah (taflis)?
Harus ditelaah kembali kebijakan Pemerintah Aceh menerbitkan Qanun Aceh tentang Lembaga Keuangan Syari’ah di mana saat ini sedang berjalan dengan ‘khidmat’. Yang menjadi polemik adalah, apakah Aceh sudah siap dengan lahirnya persengketaan ekonomi syari’ah dan taflis khususnya? Jika jawabannya sudah, sejauh mana kelayakan pada kesiapan dan kesedian SDM pada lingkungan Mahkamah Syar’iyah yang ada di Aceh?
Mungkin hal ini kita ketahui bersama bahwa Mahkamah Syar’iyah kekurangan hakim. Jumlah SDM hakim yang terdata pada 31 Oktober 2018 di Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota sebanyak 132 orang hakim.
Contoh pada satu kasus percerian saja, BPS mencatat 2019 terdapat 5.928 kasus perceraian (1.533 cerai talak dan 4.395 cerai gugat), yang dipublikasikan di kolom opini Serambi Indonesia yang berjudul “Perceraian Wanita Aceh”.
Terlihat bahwa SDM hakim tidak sebanding dengan perkara yang harus dihadapi begitu banyak pada satu jenis perkara dalam satu bidang saja. Lantas bagaimana dengan jumlah kasus pada bidang lainnya, baik itu secara umum dan otsus.
Secara umum dalam UU Peangadilan Agama pada Pasal 49 terdapat 9 bidang, belum lagi pembahagian dalam satu bidang, salah satunya adalah bidang ekonomi syari’ah yang pada penjelasanya terdapat 12 bentuk kasus. Kemudian, akan lahir pertanyaan besar lainnya, bagaimana cara menyelesaikan sengketa pada perkara taflis jika itu muncul kedepan, bagaimana bentuk hukum acaranya (formil)? Hal tersebut yang akan menjadi pemicu utama terjadinya ‘chaos’ dalam beracara jika formilnya tidak ada.
Tujuan lahirnya pengelolaan sistem ekonomi syari’ah melalui Qanun Aceh tentang Lembaga Keuangan Syari’ah, agar tercapainya stabilitas ekonomi dan keuangan yang sehat sesuai dengan ketentuan ilmu Syar’i, didukung juga dengan adanya suatu institusi yang memiliki kekuasaan (power) untuk melakukan pengelolaan dan menjalankan sistem yang ingin diperbaharui sesuai kebutuhan hukum.
Dalam kajian normatif kekuasaan yang lahir dari kewenangan yang hakikatnya diberikan oleh Negara (state) melalui peraturan perundang-undangan. Aceh sendiri memiliki kekuasan atas wilayah yuridiksinya, hal tersebut diperkuat setelah adanya Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2015 untuk penyelesaian konflik yang telah berlangsung sekitar tiga dekade.
Dalam Nota Kesepahaman tersebut mengenai Penyelenggaraan Pemerintah Aceh, pada angka 1.1.2. dalam huruf a yang menyatakan bahwa, “Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan, keamanan nasional, kebijakan moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi”.
Selanjutnya, pada angka 1.1.6. menyatakan bahwa, “Qanun Aceh akan disusun kembali untuk Aceh dengan menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh serta mencerminkan kebutuhan hukum terkini Aceh”.
Qanun sebagai produk hukum yang diakui mempunyai kekuatan di Aceh, salah satunya adalah Qanun Aceh tentang Lembaga Keuangan Syari’ah, merupakan aturan yang mengatur tentang kegiatan lembaga keuangan dalam rangka mewujudkan ekonomi masyarakat Aceh yang adil dan sejahtera dalam naungan Syari’at Islam.
Landasan terbitnya Qanun tersebut merupakan tindak lanjut dari daripada Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, yang secara tegas telah mewajibkan lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip Syari’ah. Qanun tersebut berlaku sejak 4 Januari 2019 di mana Lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh wajib menyesuaikan dirinya dengan Qanun tersebut paling lama 3 (Tiga) Tahun sejak Qanun tersebut diberlakukan.
Harus digarisbawahi, Mahkamah Syar’iyah di dalam Pasal 128 ayat (2) pada UUPA dsiebutkan bahwa “Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh”. Peraturan pelaksana dari Pasal 128 UUPA dibentuklah Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam.
Sejak adanya Keppres Nomor 11 Tahun 2003, terjadinya pengalihan fungsi dan wewenang Peradilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah yang sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Berdasarkan undang-undang tersebut, Mahkamah Syar’iyah dijadikan sebagai Peradilan Syari’at Islam dengan kewenangan absolut meliputi seluruh aspek syari’at Islam, yang pengaturannya ditetapkan dalam bentuk Qanun.
Secara yuridis kedudukan Mahkamah Syar’iyah selain melaksanakan fungsinya dalam ruang lingkup kewenangan Peradilan Agama umum, juga melaksanakan fungsinya secara Otsus yaitu penyelesaian perkara Jinayah (Pidana Islam) hanya terbatas pada perkara Khamar, Maisir, Khalwat, Ikhtilath, Zina, Pelecehan Seksual, Pemerkosaan, Qadhaf, Liwath dan Musahaqah.
Perlu dipahami kembali kemana arah untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah pasca dilakukannya konversi di lingkungan lembaga keuangan konvesional kepada sistem lembaga keuangan yang berbasis syari’ah.
Maka perlu dikaji lebih lanjut bagaimana hukum Islam mengatasi kepalaitan syari’ah (taflis) ataupun permasalahan lain yang timbul dalam ruang lingkup ekonomi syari’ah itu sendiri, di mana kewenangan tersebut berada pada Mahkamah Syar’iyah, dan bagaimana kesiapan Mahkamah Syar’iyah menghadapi implementasi dari Qanun Aceh tentang Lembaga Keuangan Syari’ah tersebut?
Pandangan sederhana, mengenai Putusan MK No. 93/PUU-X/2012 pada Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah tersebut bententangan dengan UUD 1945, kemudian pada selanjutnya menyebutkan bahwa Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sehingga, putusan tersebut dianggap tidak menyelesaikan persoalan selama ini, hal tersebut membuat dari kalangan akademisi masih menuai silang pendapat terhadap kewenangan ekonomi syari’ah, apakah kewengan mutlak pada Pengadilan Agama atau masih dimunginkan untuk diadili pada Pengadilan Negeri.
Peristiwa tersebut melahirkan kebijakan baru di lingkungan Mahkamha Agung, yaitu menegaskan kembali melalu SEMA Nomor 2 Tahun 2019 menyatakan bahwa penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah secara litigasi pasca Putusan MK No. 93/PUU-X/2012 menjadi kopetensi absolut secara mutlak Pengadilan Agama, sedangkan penyelesaian sengketa secara non litigasi diselesaikan secara akad, artinya tidak ada pilihan lagi (choice of forum) kecuali non litigasi.
Kemudian, berlandaskan pada Pasal 78 dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang menyatakan bahwa, “Mahkamah Agung dapat mengeluarkan lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini”.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut Mahkamah Agung dapat membuat membuat kebijakan, peraturan, atau surat edaran yang berkenaan hukum acara dan teknis yusdisial. Yang pertama adalah PERMA Nomor 2 Tahun 2008 yang menyatakan bahawa “Hakim peradilan dalam lingkungan Pengadilan Agama yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari’ah dalam kompilasi hukum ekonomi syari’ah”.
Kebijakan yang kedua adalah PERMA Nomor 5 Tahun 2016 tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syari’ah, dalam PERMA tersebut banyak mambahas tentang SDM hakim sebagai penyelesaian perkara. Selanjutnya, diterbitkan PERMA Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah.
Semula daft tersebut ingin dijadikan Undang-Undang Hukum Acara Ekonomi Syari’ah karena untuk menjadikannya sebagai Undang-Undang begitu pelik dan memakan waktu yang begitu panjang, maka untuk sementara dibentuk dengan PERMA, dan awalnya di dalam daftnya PERMA terdapat bab khusus yang mengatur tentang Taflis, yang kemdian bab tersebut di tolak oleh petinggi tinggi Mahkamah Agung dengan berbagai pertanyaan dan pertimbangan mengenai taflis tersbut.
Hal itu juga sempat disampaikan oleh Dr. H. Yasardin, S.H., M.Hum, selaku Hakim Agung Kamar Agama pada Mahkamah Agung RI saat memberikan materi tentang taflis pada Webinar POSDHESI Ke-3 tema “Paradigma Baru Penyelesaian Kepailitin Syari’ah di Indonesia”, bahwa Mahkamah Agung saat ini melalui PUSDIKLAT mempunyai 2 (dua) Diklat yang berkenanaan dengan ekonomi syari’ah yaitu Diklat Sertifikasi Ekonomi Syari’ah dan Diklat Fungsional Akad Syari’ah.
Dalam kedua Diklat tersebut tetap diberikan Mata Diklat Taflis (Kepailitan Syari’ah) walau sampai saat ini belum menjadi kewenangan Peradilan Agama.
Nah, secara skala nasional aturan taflis masih menjadi sebuah perjuangan panjang untuk dapat dijadikan kopetensi absolut Peradilan Agama seperti penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah saat ini.
Pada penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah pun masih menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mengenai kesiapan SDM hakim pada lingkungan Peradilan Agama khususnya Mahkamah Syar’iyah di Aceh. Apakah semuanya sudah terbekali dengan Lex Specialis di bidang ekonomi syari’ah dan taflis?
Pemerintah Aceh bersama akademisi, praktisi serta pihak terkait lainnya bersama Mahkamah Syar’iyah harus segera duduk bersama untuk memikirkan dampak-dampak besar yang akan lahir kedepannya, agar hal tersebut dapat ditanggulangi.
Setidaknya terdapat kesiapan dalam menghadapi persoalan yang dimungkinkan akan ada setelah konversi pada lembaga keuangan konvesional yang ada di Aceh menjadi lembaga keuangan yang menganut sistem Syari’ah. Kita yakin, bahwa Aceh melalui produk hukumnya (Qanun) dapat melahirkan hukum acara tersebut, yang nanti menjadikan Aceh sebagai pelopor di skala nasional.
***
Oleh: Muhammad Salda, S.SY., M.H. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Abulyatama, Dosen Luar Biasa (LB) FSH UIN Ar-Raniry, Anggota Litbang YLBH-AKA Aceh)