OLEH: SERGIE ALTHAF AMIR
(Ketua Umum Gerakan Rasional Publik)
Selat Malaka adalah salah satu dari perairan paling strategis di dunia. Disana, ada 94,000 kapal yang melintas setiap tahun, dan secara keseluruhan dilewati oleh kapal-kapal yang mengangkut kurang lebihnya 30% dari semua barang yang diperdagangkan secara global.
Sabang, sebagai pulau yang letaknya tepat di “pintu masuk” selat Malaka, mempunyai posisi yang strategis sebagai pelabuhan – posisi strategis yang sudah seharusnya dimanfaatkan untuk pertumbuhan ekonomi provinsi Aceh secara khusus dan Republik Indonesia secara keseluruhan.
Sejarah mencatat Sabang memang dikenal karena pelabuhannya sejak abad ke 19 hingga awal abad ke 20, dan pernah menyandang sebagai pintu gerbang Indonesia pada masa kejayaannya dua abad silam. Bahkan Pelabuhan Sabang di era Perang Dunia ke 2 punya peran yang sangat penting lebih penting dibandingkan dengan Singapura.
Tentu, pemerintahan-pemerintahan yang menguasai Indonesia di masa lalu tidak buta akan potensi yang dimiliki oleh Sabang. Dilansir Pemerintah Kota Sabang, Sabang pertama kali ditetapkan sebagai pelabuhan bebas atau (vrijhaven) oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1895.
Setelah kemerdekaan Indonesia, status ini mengalami beberapa perubahan. Pada 1963, pemerintah Indonesia menetapkan kembali Sabang sebagai pelabuhan bebas, tetapi kemudian ditutup pada 1985 melalui Undang-Undang No. 10 Tahun 1985 di era Orde Baru.
Namun kejayaan pelabuhan Sabang akhirnya merosot di tahun 1985, setelah status Sabang sebagai daerah perdagangan bebas dan pelabuhan bebas ditutup oleh Pemerintah RI melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 1985, hal itu dikarenakan maraknya penyelundupan dan akan dibukanya Batam sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Keputusan itulah yang membuat Sabang menjadi tertinggal.
Pada 2000, di era Reformasi, Sabang kembali berstatus kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Walaupun sempat diakhiri untuk sementara pada tahun 2004 sebab tragedi tsunami dan situasi keamanan Aceh, Sabang sampai sekarang masih mempunyai status pelabuhan bebas.
Sayangnya, dalam semua upaya di masa lalu untuk menjadikan Sabang sebagai kota pelabuhan yang makmur, upaya tersebut gagal akibat kurangnya investasi dari pemerintah pusat maupun perusahaan-perusahaan asing, maraknya penyelundupan, korupsi yang sistematis, serta kompetisi dengan pelabuhan-pelabuhan regional lainnya seperti Singapura dan Pelabuhan Klang.
Namun, hal ini tidak mengubah fakta bahwa, secara potensial, pengembangan Sabang sebagai pelabuhan bebas yang besar dapat secara signifikan meningkatkan kondisi ekonomi.
Mengingat bahwa upaya untuk mentransformasi Sabang sebagai pelabuhan bebas yang makmur telah terjadi lebih dari 20 tahun yang lalu, dalam kondisi ekonomi dan politik Indonesia yang kini sangat berbeda, sudah saatnya Sabang diberikan kesempatan lagi untuk mencapai potensinya sebagai pusat ekonomi dan perdagangan.
Status pelabuhan bebas Sabang sudah seharusnya menjadi suatu hal yang benar-benar diimplementasi secara penuh.
Di tahun 2024 lalu, terdengar kabar bahwa Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (KemenkoMarves) mengusulkan Sabang dijadikan pelabuhan Hub Transit. Tentunya gagasan ini bisa menjadi awal untuk membangunkan kembali Pelabuhan Sabang yang sudah cukup lama tertidur.
Jika kita mengamati sejarah Singapura, negara di Asia Tenggara dengan indeks kualitas hidup tertinggi, kita dapat melihat bahwa alasan utama dibalik kekayaannya saat ini adalah keberhasilannya sebagai pelabuhan bebas yang mampu menarik investor asing serta menjadi pusat perdagangan berkat kebijakan ekonominya yang cenderung mengarah kepada kebijakan ekonomi free market.
Namun, menjadikan sabang sebagai Singapura hanya akan menjadi dongeng belaka jika tidak diikuti dengan komitmen serius dari Pemerintah Pusat dan Daerah, tidak akan mungkin pelabuhan Sabang akan bangun dari tidurnya jika harga BBM industri di Sabang lebih mahal dibandingkan dengan Batam.
Tidak ada alasan mengapa Sabang, yang memiliki posisi strategis lebih unggul—karena terletak langsung di pintu masuk kapal-kapal dari Lautan Hindia ke Selat Malaka—tidak dapat mereplikasi kesuksesan ekonomi seperti Singapura. Untuk mencapai kesuksesan ekonomi, Sabang sebagai pelabuhan bebas harus benar-benar mempunyai kebijakan yang mencerminkan status tersebut.