ASPEK.ID, JAKARTA – Bisnis ritel milik konglomerat Chairul Tanjung (CT), PT Trans Retail Indonesia dilaporkan tidak bisa membayar utang.
Mereka mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) oleh salah satu kreditur Trans Retail, PT Tritunggal Adyabuana.
Dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, PT Tritunggal Adyabuana merupakan perusahaan pemasok peralatan rumah tangga secara resmi mendaftarkan perkara pada 30 September 2020.
Permohonan tersebut dikabulkan dan PT Trans Retail ditetapkan dalam status PKPU selama 45 hari sejak putusan dikeluarkan. Jadwal sidang pertama diagendakan pada Kamis (8/10/2020).
Trans Retail sebagaimana dilansir dari laman Bisnis, tengah mencari pendanaan untuk proses amortisasi pada utang setara US$740 juta yang jatuh tempo pada 2025.
Hal ini dilakukan menyusul penolakan para kreditur atas permohonan penundaan kewajiban bayar utang selama 18 bulan yang diajukan perusahaan.
“Pada Agustus, para pemberi pinjaman setuju untuk melonggarkan perjanjian utang bersih terhadap EBITDA [net-debt-to EBITDA] pada pinjaman 5 tahun berjaminan. Selain itu, pemberi pinjaman setuju untuk melonggarkan pengujian perjanjian leverage sampai September tahun depan,” demikian bunyi laporan itu dikutip Rabu (7/10/2020).
Consumer Behaviour Expert & Executive Director Retail Service Nielsen Indonesia Yongky Susilo mengemukakan bahwa ritel segmen toko besar seperti yang dijalankan Trans Retail menunjukkan performa yang kurang positif dalam beberapa tahun terakhir.
Di antara segmen ritel skala lain, toko besar dia catat mengalami penurunan paling besar.
“Format hypermarket sudah suffering sejak empat setengah tahun terakhir. Kalau tokonya sampai sekarang saja itu sudah bagus. Format ini paling parah secara pertumbuhan,” kata Yongky.
Bergesernya preferensi konsumen menjadi faktor utama yang menyebabkan perlambatan bisnis ritel format hypermarket.
Dia menilai banyak konsumen yang berpandangan bahwa format hypermarket yang tak banyak mengalami evolusi membuat konsumen menjadi bosan.
“Hypermarket ini di kota-kota besar di mana masyarakatnya lebih mencari leisure dan lifestyle. Mereka tidak akan berlama-lama berbelanja kebutuhan di toko groceries. Makanya pemain hypermarket ini banyak yang tertinggal,” pungkasnya.