ASPEK.ID, JAKARTA – Hubungan antara Islam dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada dasarnya sudah selesai diperdebatkan oleh para pendiri bangsa (founding fathers) yang di antaranya adalah ulama dan tokoh Islam.
Pada saat itu pun para tokoh Islam sudah memberikan argumentasi tentang penerimaan mereka terhadap NKRI yang berideologi Pancasila ini. Untuk memperkuat penjelasan tersebut, Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin mengeluarkan gagasan Darul Mitsaq (negara kesepakatan) sebagai legitimasi hubungan antara Islam dan NKRI.
“Gagasan saya tentang Darul Mitsaq memang didorong untuk memberikan legitimasi keagamaan (Islam) terhadap ideologi dan sistem NKRI, karena mayoritas rakyat Indonesia adalah muslim,” tegas Wapres pada acara Bedah Buku Dārul Mịṡāq: Indonesia Negara Kesepakatan, Pandangan K.H. Ma’ruf Amin, melalui konferensi video di Kediaman Resmi Wapres, Jl. Diponegoro No. 2, Jakarta Pusat, Senin (7/6/2021).
Dalam acara yang merupakan rangkaian kegiatan Dies Natalis Ke-57 UNJ tersebut, lebih jauh Wapres mengungkapkan bahwa umat Islam saat ini masih perlu mendapatkan penjelasan tentang hubungan antara Islam dan NKRI sebagai bentuk legitimasi keagamaan terhadap negara ini. Hal ini dilakukan agar gerakan-gerakan intoleran dapat dihindari.
Oleh sebab itu, pendekatan terpenting untuk menangkal gerakan ini, kata Wapres, adalah pendekatan wasathiyyah, yakni konsep Islam moderat yang mengandung arti jalan tengah di antara dua sisi atau dua bentuk pemahaman.
Menurutnya, pemahaman Islam wasathiyyah adalah pemahaman yang tidak tekstual dan tidak pula liberal, tidak berlebihan (ifrâth) tetapi juga tidak gegabah (tafrîth), dan tidak pula memperberat (tasyaddud) tetapi juga tidak mempermudah (tasâhul).
Adapun implentasi wasathiyyah atau moderasi beragama dalam bingkai Darul Mitsaq di Indonesia, menurut Wapres meliputi empat hal, yakni: toleransi, antikekerasan, komitmen kebangsaan, dan akomodatif terhadap budaya lokal dan perkembangan zaman.
“Pertama, toleransi adalah sikap dan perilaku seseorang yang menerima, menghargai keberadaan orang lain dan tidak mengganggu mereka, termasuk hak untuk berkeyakinan dan mengekspresikan keyakinan agama mereka, meskipun keyakinan mereka berbeda dengan keyakinan dirinya,” sebutnya.
Yang kedua, sambung Wapres, moderasi beragama tidak membenarkan tindak kekerasan, termasuk penggunaan cara-cara kekerasan atas nama agama untuk melakukan perubahan, baik kekerasan verbal maupun kekerasan fisik.
“Ketiga, komitmen kebangsaan terutama berbentuk pada penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara, UUD 1945 sebagai konstitusi, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai pilihan bentuk Negara Indonesia. Keempat, pemahaman dan perilaku beragama yang akomodatif terhadap budaya lokal atau konteks Indonesia yang multikultural dan multiagama serta perkembangan zaman yang semakin maju,” jelasnya.
Terakhir, Wapres menyimpulkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara, yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa, tidak bertentangan dengan Islam, karena kelima sila di dalamnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, bahkan secara eksplisit menunjukkan bahwa negara Indonesia adalah negara yang beragama dan menghormati keberadaan agama.
“Oleh karena itu, kita tidak boleh mempertentangkan Pancasila dan agama, atau perintah memilih Pancasila atau Al-Qur’an,” tegasnya.