ASPEK.ID, JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengumumkan serta melantik Menteri di Kabinet Indonesia Maju Periode 2019-2024 di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (23/10/2019).
Dari 38 nama menteri dan pejabat setingkat menteri yang telah dilantik, hampir separuhnya berasal dari partai politik dan sisanya berasal dari kalangan professional.
Susunan menteri di Kabinet Indonesia Maju yang baru beberapa hari disusun dinilai hanya akomodatif bagi lawan (mantan oposisi), namun cenderung mengabaikan kepentingan pendukung. Dalam beberapa hal, Presiden Jokowi hanya mementingkan isu populis dibandingkan dengan substansial.
Misalnya dalam penempatan menteri bidang ekonomi. Seperti yang kita tahu pertumbuhan ekonomi cenderung tidak signifikansi hanya di 5 %. Seharusnya pada masa 5 tahun kedepan Presiden sudah harus mulai berpikir bagaimana terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Dalam hal ini Presiden tidak peka kondisi, dengan menempatkan menteri bidang ekonomi yang bukan dari latar belakang ekonomi.
Di mulai dari Menko Perekonomian yang diisi oleh Airlangga Hartanto. Jabatan Menko Perekonomian seharusnya diisi oleh orang yang benar-benar ahli dalam bidang ekonomi makro, bisa melihat permasalahan ekonomi Indonesia secara lebih komprehensif, tidak hanya bisnis semata. Tapi mulai dari kondisi ekonomi di masyarakat paling rendah hingga tertinggi.
Menteri Desa PDTT juga diisi oleh Abdul Halim Iskandar yang berlatarbelakang partai politik. Pada dasarnya hal yang lumrah partai politik untuk mengusung kandidatnya menjadi menteri. Namun yang perlu diperhatikan adalah kandidat yang diusung harus benar-benar paham dengan jabatan yang dipegangnya.
Jadi sekalipun menteri memang merupakan jabatan politik, Presiden seharusnya tidak abai dengan nilai substansinya. Belum lagi, kalau kita melihat Abdul Halim sebelumnya pernah berurusan dengan KPK pada tahun 2018 lalu.
Dalam aspek politik, Presiden juga cenderung tidak memegang komitmen dengan Partai Politik pendukung dan pengusungnya. Katakan saja misalnya Hanura yang pada pemilu 2019 lalu merupakan partai pengusung yang menyerahkan suara kursinya di parlemen untuk mengusung Jokowi-Amin. Namun bukan berarti dengan Hanura tidak mendapatkan kursi di DPR, dapat diabaikan sebagai partai yang tidak berkontribusi pada perolehan suara Jokowi.
Di sisi lain, Indonesia yang menerapkan demokrasi, Perkumpulan massa yang dapat diakui di dalam sistem adalah partai politik. Karena Partai Politik yang memegang mandate fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan. Dengan fungsi tersebut, rakyat sebagai konstituen memiliki pegangan yang kuat untuk menyalurkan kepentingannya lewat partai politik. Jadi sangat disayangkan jika Presiden lebih mengutamakan kepentingan relawan dibanding partai politik yang punya basis massa yang jelas.
Selain itu, terlepas dari keinginan Presiden untuk mempersatukan perpecahan politik yang terjadi selama ini dengan mengangkat Prabowo sebagai Menteri Pertahanan, namun yang bisa terlihat adalah seolah Presiden mempertegas bahwa perpecahan selama ini adalah murni hanya soal bagi-bagi jabatan bukan pada tataran pertarungan gagasan untuk membangun Indonesia.
Belum lagi jika melihat pada beberapa latar belakang menteri yang diangkat pernah tersangkut permasalahan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Seharusnya Presiden mempertimbangkan menteri yang dipilih adalah orang yang tidak pernah terindikasi masalah dengan KPK.
Jakarta, 26 Oktober 2019.
Almufarid C. Gadeng, Analis The Perfekto Indonesia.